kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

Pertumbuhan ekonomi bakal tertekan


Kamis, 18 April 2013 / 08:45 WIB
Pertumbuhan ekonomi bakal tertekan
ILUSTRASI. Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (10/9/2021). IHSG Kamis (11/11) diramal bergerak sideways, analis beri rekomendasi saham. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.


Reporter: Herlina KD, Anna Suci Perwitasari | Editor: Adi Wikanto

JAKARTA. Kebijakan pemerintah mengendalikan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi melalui dual price berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi tahun ini. Padahal, sebelum ada rencana kebijakan ini, sejumlah pihak sudah menurunkan angka perkiraan pertumbuhan ekonomi. Nah, dengan dual price, pertumbuhan ekonomi akan lebih rendah dibandingkan hasil perhitungan terbaru.

Apalagi, Dana Moneter Internasional (IMF) baru saja mengeluarkan laporan atas koreksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari 3,5% menjadi 3,3%, Selasa (16/4). Memang, bersamaan laporan itu, IMF juga menganalisa, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tetap sesuai perhitungan awal, yakni 6,3%.

Menurut IMF, masih kuatnya permintaan dari dalam negeri menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi. Selain itu, aliran modal dengan bunga rendah juga mendukung konsumsi swasta dan investasi di dalam negeri. Indonesia juga akan memetik keuntungan dari pulihnya harga komoditas karena permintaan China mulai meningkat.
Namun, Juniman, Ekonom BII, berpendapat, perhitungan IMF tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia itu belum memperhitungkan kebijakan BBM bersubsidi. Padahal, "Kebijakan BBM akan membuat perlambatan, karena ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi domestik," katanya Rabu (17/4).

Menurut Juniman, kebijakan pengendalian BBM bersubsidi akan mengerek inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Dalam perkiraannya, konsumsi domestik bakal melemah terutama permintaan untuk mobil dan rumah. Walhasil, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan mencapai 6%-6,2%.

Mengingatkan saja, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 6,3%-6,8%. Namun, Agus Martowardojo, Menteri Keuangan pun pesimis dengan target itu dan perhitungannya, pertumbuhan ekonomi hanya akan mencapai 6,5%. Bank Dunia dan Bank Indonesia (BI) juga sudah mengoreksi pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 6,2%.

Lana Soelistyaningsih, Ekonom Samuel Sekuritas, memperkirakan, pertumbuhan ekonomi pasca kebijakan BBM hanya akan mencapai 6,1%-6,3%. Angka 6,3% bisa tercapai bila dukungan konsumsi domestik yang cukup kuat. Kondisi ini masih mungkin terjadi karena kenaikan BBM hanya berdampak sementara.

Inflasi naik

Perhitungan BI, sistem dual price yang melarang mobil-mobil plat hitam mengkonsumsi BBM bersubsidi seharga Rp 4.500 per liter akan mendongkrak inflasi. Perry Warjiyo, Deputi Gubernur BI, mengungkapkan mobil pribadi harus mengkonsumsi premium atau solar dengan harga minimal Rp 7.000 per liter, inflasi akhir tahun akan bertambah 0,7% dari perkiraan. Mengingatkan saja, tanpa kebijakan BBM, BI memperkirakan inflasi akhir tahun sebesar 5,4%. "Kalau harga BBM bersubsidi lebih rendah (Rp 6.500 per liter), dampak inflasinya lebih rendah," ungkap Perry tanpa merinci.

Destry Damayanti, Kepala Ekonom Bank Mandiri, menghitung dampak kenaikan BBM ini terhadap inflasi akan jauh lebih tinggi dari perkiraan BI. Dalam hitungannya, dengan harga jual BBM bersubsidi untuk mobil pribadi Rp 7.000 per liter, maka sumbangan inflasinya sebesar 1%-1,4%. Artinya, inflasi di akhir tahun bisa mencapai 6,5%-6,9%.

Namun, pemerintah dan BI tidak perlu khawatir dengan tingginya inflasi. BI juga tidak perlu mengubah suku bunga acuan (BI Rate) agar pertumbuhan ekonomi tetap terjaga. "BI Rate tak perlu berubah, cukup Fasbi saja yang bergerak antara 25 hingga 50 basis poin," tambahnya.

Hal ini juga diperlukan agar investor melihat bagaimana BI memberikan sinyal positif pada tingginya inflasi. Jadi, investor tetap menjaga dananya di Indonesia. n

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×