Reporter: Arief Ardiansyah, Umar Idris, Anastasia Lilin Y | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Setiap pencabutan fasilitas, biasanya ada kompensasi bagi para penerima fasilitas. Begitu pula yang berlaku dalam praktik pemberian subsidi dari negara atas harga bahan bakar minyak (BBM).
Saat pemerintah “memastikan” akan melakukan pengurangan subsidi terhadap harga BBM, skenario penggantian fasilitas pun muncul ke permukaan. Kepastian adanya kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak kenaikan harga BBM ini keluar dari pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat membuka Musyawarah Nasional IX Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Senin lalu.
Presiden mengatakan, bila tiba saatnya harga BBM bersubsidi naik, rakyat tidak mampu akan terpukul. “Untuk itu, adilnya mereka harus dapat kompensasi. Bagi saya memberi kompensasi kepada rakyat miskin manakala BBM naik adalah harga mati,” tegas Presiden.
Dalam kebijakan BBM bersubsidi, Presiden SBY berupaya melindungi orang miskin tapi memastikan kondisi makroekonomi dan fiskal tetap sehat. Untuk tahun ini dan tahun depan, SBY mencanangkan program prioritas menjadikan kondisi fi skal lebih sehat.
Sejarah pemerintahan Presiden SBY memang diiringi dengan kebijakan kenaikan dan penurunan harga BBM. Kita mencatat, pada periode kepemimpinan pertama tahun 2004-2009, SBY sudah tiga kali mengetok
palu keputusan kenaikan harga BBM. Pada masa pemerintahan kedua, harga BBM tidak mengalami perubahan.
Dulu, untuk menyangga daya beli masyarakat miskin yang tergerus lantaran kenaikan harga BBM, pemerintah menggelar program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dengan dana puluhan triliun rupiah, pemerintah mengguyur puluhan juta keluarga miskin dengan dana tunai Rp 100.000 per bulan.
Banyak kalangan menduga program kompensasi yang dijanjikan Presiden tak jauh dari format BLT. Apalagi, bila menengok setahun lalu pemerintah dan DPR pernah menyepakati program serupa BLT bila harga BBM naik. Namun, lantaran tahun lalu pemerintah tidak jadi mengerek harga BBM bersubsidi,
program itu masuk kembali ke laci pemerintah.
Program tersebut namanya Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BSLM). Intinya, program ini juga membagi uang tunai buat rumahtangga sasaran (RTS) yang berkategori miskin dan hampir miskin melalui jaringan PT Pos Indonesia.
Perbedaan dengan BLT terletak pada besaran uang yang diterima RTS. Rencananya, RTS akan menerima BLSM senilai Rp 150.000 sebulan. Pemberian dana terjadi tiap tiga bulan. Lama program bisa enam bulan atau sembilan bulan.
Pembeda lain antara BLSM dengan BLT ada pada teknis pemberian bantuan. Pada BLT, kita melihat antrean panjang RTS di kantor pos. Pada BLSM, pemerintah mencetak kartu untuk bukti pencairan BLSM yang akan dikirimkan ke semua RTS. Nah, pemilik kartu ini bebas mencairkan dana BLSM di kantor pos kapan saja.
Hingga kini, format resmi kompensasi bagi masyarakat miskin akibat kenaikan harga BBM masih dalam pembahasan pemerintah. “Belum ada keputusan bentuk kompensasinya,” kata Direktur Jenderal Anggaran
Kementerian Keuangan Herry Purnomo.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Firmanzah membenarkan pembahasan kompensasi memang belum ketok palu. “Pembahasan kompensasi ini harus matang agar tidak semakin memberatkan masyarakat miskin,” imbuh dia.
Saat ini, program pengentasan kemiskinan dilakukan melalui penyaluran beras masyarakat miskin (Raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM), Beasiswa Siswa Miskin, Keluarga Harapan, dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Firmanzah menyebut, banyak program ditujukan untuk orang miskin karena efek kenaikan harga BBM terhadap infl asi sangat kuat. Berdasarkan pengalaman, misalnya, tahun 2005 lalu angka inflasi melambung menjadi 17%. Efek lanjutannya adalah seketika mendongkrak angka kemiskinan menjadi
17,75%.
Upaya menahan daya beli dari gerusan infl asi ini penting bagi pemerintah. Alasannya, selama ini perekonomian Indonesia lebih banyak ditopang oleh konsumsi domestik.
Peluru para koboi
Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan, bentuk kompensasi bagi masyarakat miskin ini tergantung dari opsi yang dipilih pemerintah dalam subsidi BBM. Dia mencontohkan, untuk pilihan menaikkan harga BBM. Ia menduga pemerintah tidak akan mengerek harga terlalu tinggi, maksimal Rp 1.000 per liter.
Bila nominal kenaikan itu yang dipilih, uang subsidi yang disisihkan untuk kompensasi program ke masyarakat miskin tentu tak terlalu banyak. “Karena ruang gerak tak besar, pemerintah harus mengalokasikan anggaran lain untuk kompensasi,” papar Purbaya.
Aneka rencana kompensasi, khususnya yang bersifat bantuan uang tunai, bagi Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Harry Azhar Azis, adalah cara usang pemerintah. Dalam praktiknya, pemberian BLT justru rawan penyimpangan.
Kala itu, Harry mendapati banyak orang yang tidak miskin yang menerima BLT. Rupanya, orang tidak miskin yang menerima BLT itu adalah saudara dari pejabat pemerintah. Nah, “Apakah kali ini Presiden bisa menjamin perbaikan manajemen dan birokrasi penyaluran BLT?” tanya Harry.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Effendi Simbolon menilai, Presiden SBY masih saja melakukan aksi politis ulangan. Kebiasaan SBY, pasca menaikkan harga BBM selalu menyodorkan program yang prorakyat miskin seperti BLT.
Model seperti ini, buat Effendi, tak beda dengan praktik politik uang alias money politics. Program bagi-bagi uang berbalut kompensasi ini memiliki tujuan lain untuk mengerek elektabilitas partai politik. Program BLT dan semacamnya tidak memiliki manfaat jangka menengah dan jangka panjang. “Sama saja nyawer rakyat dengan duit APBN. Yang fair, dong!” kata Effendi.
Pernyataan senada juga keluar dari pengamat sosial ekonomi dari Universitas Indonesia Andrinof Chaniago. Pemberian bantuan dana tunai kepada masyarakat miskin tidak memberi manfaat ekonomi yang besar bagi mereka. Sifat bantuan yang sementara hanya akan mengurangi beban mereka sepanjang program berjalan saja.
Efek paling jelas dari program semacam BLT yang hadir menjelang pemilihan umum itu dari sisi politis. Aksi ini bisa untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas Partai Demokrat yang sekarang sedang rendah. “Kalau dulu, untuk menaikkan elektabilitas SBY yang mau maju lagi menjadi presiden,” kata Andrinof.
Sebaiknya, pemerintah harus menjalankan program peningkatan daya beli masyarakat. Contoh, menyediakan lapangan pekerjaan, meningkatkan produktivitas, dan memperbaiki pemasaran. Beberapa program itu barangkali sudah ada sekarang. Tapi, bila pemerintah menaikkan harga BBM, program ini harus diperkuat lagi.
Posisi pemerintah yang terlihat belum siap dalam memberikan kompensasi atas kebijakan kenaikan harga BBM bisa menjadi pintu masuk kalangan oposisi menyerang pemerintah. Harry menyebutkan, dari sisi peraturan, Undang-Undang (UU) APBN 2013 sudah menyerahkan keputusan ihwal subsidi BBM ke tangan pemerintah. Tapi, tak menutup kemungkinan ada anggota DPR memanfaatkan kebijakan harga BBM untuk menekan pemerintah.
Amunisi para koboi Senayan nanti, ya, masalah kompensasi ini. Harry mengatakan, UU APBN 2013 tidak menyediakan alokasi dana maupun pengalihan dana subsidi untuk kompensasi kenaikan harga BBM. Artinya, pembahasan APBN Perubahan 2013 bakal keras bila pemerintah menaikkan harga BBM. Sudah siap tempur?
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 29 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News