Reporter: Adinda Ade Mustami, Ghina Ghaliya Quddus, Ramadhani Prihatini | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Realisasi penerimaan pajak, termasuk PPh Migas, dalam dua bulan pertama tahun ini mencapai Rp 134,6 triliun. Jumlah itu sebanding dengan 10,29% dari target APBN 2017 dan lebih tinggi dari realisasi periode yang sama tahun lalu.
Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Yon Arsal mengatakan, realisasi penerimaan pajak hingga Februari 2017 tumbuh 8,15% dibandingkan periode sama yang sebesar Rp 124,4 triliun. Ini sinyal positif, katanya, Senin (13/3). Namun menurutnya, pertumbuhan ini belum cukup. Sebab, Ditjen Pajak menargetkan pertumbuhan penerimaan pajak sebesar 18,3% pada tahun ini.
Menurut Yon, salah satu penyebab kenaikan realisasi pajak sampai Februari 2017 adalah pajak migas. Karena harganya lagi naik, ucapnya.
Yon berharap dengan kenaikan penerimaan pajak 8,15% hingga Februari 2017, akan menjadi tanda positif pencapaian target pajak hingga akhir tahun. "Jika bisa tumbuh cepat di awal tahun, kami bisa mengompensasi penerimaan September. Karena bulan September, risikonya cukup besar. September tahun lalu, kita memperoleh penerimaan dari amnesti pajak yang cukup besar, katanya. Untuk dua bulan pertama 2017, kontribusi penerimaan dari amnesti pajak sebesar Rp 1,5 triliun.
Ditjen Pajak berharap sebelum batas waktu 31 Maret 2017, penerimaan dari hasil amnesti pajak meningkat. Apalagi, menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama, masih ada potensi penerimaan pajak sekitar Rp 2 triliun. Kami lihat tanda-tandanya, uang tebusan meningkat. Februari sepi, tetapi Maret mulai meningkat, katanya. Apalagi, menurutnya, Ditjen pajak sudah mengantongi data WP potensial, khususnya yang terkait Panama Papers.
Pertaruhan berat 2017
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo bilang, tahun ini akan menjadi tahun yang berat bagi Ditjen Pajak mengejar setoran pajak. Ada pertaruhan besar di 2017, karena tidak ada potensi pajak selain harta amnesti. Yang dulu-dulu diperiksa tidak bisa lagi karena sudah diampuni (amnesti), katanya. Apalagi, menurutnya, hingga saat ini belum ada satu ide solid soal apa yang ingin dilakukan otoritas pajak usai amnesti pajak habis.
Pertaruhan makin berat karena walau per 1 April 2017, pemerintah sudah punya kewenangan penegakan hukum, namun hanya legitimasi saja, sementara alatnya belum ada. Misalnya orang tidak ikut amnesti tapi punya harta yang tidak dilaporkan. Kalau dikejar, mau dengan cara apa? Pemeriksaan? Sengketa pajak tidak bisa cepat, bisa tiga tahun, ujarnya. Sehingga bisa dikatakan butuh waktu lama bila ingin menikmati hasil penegakan hukum usai amnesti pajak.
Yustinus menyarankan, agar Ditjen Pajak bisa cepat menerima hasil, perlu dilakukan sampling audit. Ini dilakukan dengan menyeleksi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kanwil yang punya kandidat potensial penerimaan pajak. Misal ambil sampel 1% dari WP, itu diperiksa. Bila yang besar-besar diperiksa dan sudah kena, mau tidak mau yang menengah ke bawah membayar pajak juga, katanya. Hanya dengan cara itulah, penegakan hukum setelah amnesti pajak bisa berjalan efektif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News