kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Peta politik BBM bersubsidi


Rabu, 17 April 2013 / 16:37 WIB
Peta politik BBM bersubsidi
ILUSTRASI. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah.


Reporter: Umar Idris | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Pri Agung Rakhmanto tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya, karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak kunjung mengeluarkan kebijakan baru terkait bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. “Saya makin bingung dengan sikap pemerintah, Presiden SBY khususnya,” kata pengamat energi ini.

Pri Agung punya alasan kuat mengapa dia begitu kecewa dengan sikap SBY. Direktur Eksekutif Refominner ini menilai, sekarang masalah subsidi BBM sudah melebar menjadi masalah moneter, jadi bukan semata masalah fiskal.

Soalnya, BBM bersubsidi sudah menyebabkan neraca perdagangan Indonesia sepanjang Januari hingga Februari 2013 lalu mengalami defisit, gara-gara pemerintah banyak mengimpor premium dan solar. Pemerintah terpaksa beli banyak BBM dari luar negeri untuk memenuhi permintaan premium dan solar yang naik pada dua bulan pertama tahun ini.

Itu sebabnya, Agung mengatakan, kebijakan baru seputar BBM bersubsidi nanti harus bisa mengatasi dua masalah sekaligus: fiskal dan moneter. Tapi, kalau pilihannya jatuh kepada program pembatasan konsumsi bagi mobil pribadi, pemerintah hanya mengatasi masalah dari sisi fiskal, sedangkan dari sisi moneter tidak teratasi karena impor BBM nonsubsidi akan naik. Alhasil, neraca dagang kita tetap defisit. “Kenaikan harga BBM sekitar Rp 1.500 per liter bisa mengatasi masalah fiskal dan moneter sekaligus,” tegas Pri Agung.

Dan sejatinya, pemerintah tidak punya alasan untuk menunda-nunda keputusan terkait BBM bersubsidi. Fakta berbicara, sampai akhir Maret 2013 lalu, konsumsi BBM bersubsidi sudah jauh di atas kuota kuartal I 2013. Data PT Pertamina menunjukkan, selama triwulan satu lalu, penggunaan premium dan solar mencapai 10,74 juta kiloliter (kl) atau 6% di atas kuota kuartal pertama yang hanya 10,68 juta kl.

Tambah lagi harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang juga menjadi parameter subsidi BBM juga jauh di atas asumsi ICP dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013 yang hanya US$ 100 per barel. Rata-rata ICP pada tiga bulan pertama tahun ini mencapai US$ 111,32 per barel.

Kalau tidak ada kebijakan baru, konsumsi BBM bersubsidi sampai akhir tahun nanti bisa menembus angka 53 juta kl, jauh melebihi kuota tahun ini yang hanya 46 juta kl. Alhasil, bujet subsidi BBM bisa melonjak dua kali lipat lebih, hingga Rp 300 triliun dari target yang cuma Rp 146,46 triliun.

Sudah mengerucut

Jadi, pemerintah harus cepat mengambil keputusan. Apalagi, pemerintah tidak perlu lagi mengantongi restu DPR untuk mengerek harga BBM. Kewenangan penuh kebijakan harga premium dan solar kini ada di tangah pemerintah, sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN 2013.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik bilang, dalam rapat kabinet Kamis (11/4) lalu, pembahasan terkait BBM bersubsidi sudah mengerucut. “Tinggal akan dimatangkan lagi nanti hari Sabtu dan Minggu, dua hari kami akan lembur ini di Istana Presiden Cipanas,” katanya usai rapat di Istana Presiden Jakarta.

Meski tak perlu lagi mendapat lampu hijau dari Senayan, tempat wakil rakyat bermarkas, Presiden SBY tetap butuh dukungan politik.

Presiden meminta partai politik mendukung kebijakan pemerintah soal bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Dia mengingatkan, bila ternyata pilihan kebijakan itu dijalankan, kemudian terjadi gelombang penolakan, jangan sampai partai yang mendukung lantas balik kanan. Apalagi, “Malah jadi yang paling keras menentang. Bulan lalu ngomong apa, sekarang ngomong seperti apa. Ayo kita belajar untuk menjalankan politik yang baik,” tegas dia.

Pernyataan Presiden ini tentu mengingatkan kita dalam eskalasi politik di DPR tahun lalu saat pengambilan keputusan atas rencana kenaikan harga BBM. Ketika itu, sehari sebelum pengambilan keputusan, Partai Golkar mendukung penuh rencana tersebut. Namun, saat pengambilan keputusan, mereka balik arah menjadi tidak mendukung rencana itu.

Ya, partai politik terutama pendukung Pemerintahan SBY-Boediono juga punya kepentingan terhadap kebijakan pemerintah terkait BBM bersubsidi. Mereka tentu tidak mau masyarakat mencap mereka bertanggungjawab atas kebijakan tersebut, karena ada kadernya yang menjadi menteri dan ikut mengambil keputusan. Maklum, tahun depan ada pemilihan umum dan partai tidak ingin elektabilitasnya turun.

Tak heran, Partai Amanat Nasional (PAN) yang notabene pendukung utama Pemerintahan SBY kali ini tidak bersikap tegas, apakah mendukung atau tidak rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Padahal, tahun lalu Fraksi PAN di DPR mendukung penuh keinginan pemerintah untuk mengerek harga premium dan solar.

Alasannya, Sekretaris Jenderal PAN Taufik Kurniawan mengatakan, saat ini pemerintah memiliki payung hukum berupa UU No.19/2012 untuk menaikkan harga BBM tanpa perlu mendapat persetujuan DPR. Jadi, bukan persoalan lagi, apakah partai setuju atau tidak dengan kenaikan harga BBM. Cuma tentu, “Ada batas kenaikan harganya,” imbuhnya. Berapa? Sayang, dia tidak mau menyebutkan batasan kenaikan harga BBM yang masih bisa ditoleransi oleh partainya.

Begitu juga dengan sikap Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga masuk dalam koalisi Pemerintahan SBY. Bahkan, Ketua Fraksi PKB Marwan Ja’far tetap meminta pemerintah sowan dulu ke DPR sebelum memutuskan kebijakan baru terkait BBM bersubsidi. “Apapun rencana kebijakannya, perlu dikonsultasikan kepada DPR untuk meminta persetujuan,” pinta Marwan.

PKB siap memberi dukungan kepada pemerintah jika memutuskan menaikkan harga BBM, tapi dengan syarat. “Sepanjang dana yang dihemat dari kenaikan harga BBM untuk membangun infrastruktur dan perbaikan transportasi umum dan perintis, kenaikan harga BBM bisa saja dilakukan,” kata dia.

Sama seperti PKB, Partai Golkar siap mendukung kebijakan pemerintah terkait BBM bersubsidi dengan syarat. Anggota DPR dari Fraksi Golkar Harry Azhar Azis berharap, jikalau menaikkan harga, hendaknya efek kebijakan itu minimal, khususnya bagi masyarakat kelas bawah. Dia tak ingin kebijakan tersebut malah membebani masyarakat karena perhitungan yang tidak tepat.

Harry juga minta pemerintah melaksanakan kebijakan tersebut paling lambat akhir Juni nanti. Soalnya, “Pelaksanaan pemilu, kan sudah kian dekat dan bisa memunculkan risiko-risiko politik,” ujarnya.

Anggota DPR dari Fraksi PKS Andi Rahmat menilai, pemerintah sampai sekarang tak kunjung lepas dari jebakan penanganan subsidi BBM untuk menyehatkan keuangan negara. Hal ini terjadi lantaran pemerintah tidak membuat program pengendalian energi nasional kita yang terintegrasi.

Menolak keras

Tahun lalu, DPR terjebak dalam perdebatan melelahkan dengan pemerintah seputar BBM bersubsidi. Sekarang, penentuan subsidi ada di tangan pemerintah, dan seharusnya menghindarkan persepsi publik bahwa pembahasan subsidi BBM kental aroma politis dan terjadi karena belitan partai politik. “Kami tidak mau jadi kambing congek tetapi juga tidak mau jadi bumper kebijakan,” kata Andi ketus.

Sebagai partai oposisi, Partai Demokrasi Indonesia (PDIP) menolak keras rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Ketua Bidang Sumber Daya Manusia PDIP Effendi Simbolon menyatakan prihatin dengan gaya kepemimpinan Presiden SBY yang sering “curhat” dan menunjukkan pencitraan seolah-seolah ada simpati kepada masyarakat miskin sebelum mengeluarkan kebijakan tentang BBM. “Apa yang dilakukan SBY selama ini, yakni menaikkan harga BBM lalu diikuti dengan kompensasi ke rakyat miskin dengan BLT adalah lagu lama,” tutur Effendi.

Menurut Effendi, SBY sebenarnya tidak perlu menaikkan harga BBM jika selama 8,5 tahun kepemimpinan dia membangun kilang pengolahan BBM. Tak kalah penting harusnya Presiden SBY memberantas mafia atau kartel BBM. Dia menuding anggota kartel BBM adalah bagian dari konspirasi pengusaha Indonesia yang dekat dengan pemerintah.

Effendi juga menuding para mafia kartel BBM sengaja menghalang-halangi agar pemerintah tak membangun kilang pengolahan, sehingga kendali jual-beli dan kuota BBM tetap berada kalangan orang-orang tersebut. “Singapura negara kecil tapi bangun kilang cukup besar. Untuk siapa? Ya, untuk Indonesia melalui gembong-gembong tadi,” katanya.

Selain perkara kilang, Effendi menyoroti pembenahan transportasi umum yang kacau sehingga pemerintah tak menerapkan pembatasan mobil pribadi. Sebagian besar armada transportasi umum tak nyaman bagi penumpang tapi jalur transportasi tidak efektif mengurai kemacetan di Ibukota. Dampaknya masyarakat memilih kendaraan pribadi, motor maupun mobil yang membuat konsumsi BBM bersubsidi jadi terus meningkat. Seharusnya pemerintah mengatasi hal-hal seperti ini.

Meski DPR tak lagi memainkan peran dalam pengambilan keputusan seputar BBM bersubsidi lagi, Harry mengingatkan, tetap tidak menutup kemungkinan ada beberapa anggota dewan yang akan memanfaatkan kebijakan kenaikan harga BBM untuk menyerang pemerintah.

Bagaimana Presiden SBY, akankah tetap ada keputusan baru BBM bersubsidi?

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 29  - XVII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Berita Terkait



TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×