Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemutusan hubungan kerja (PHK) diperkirakan masih akan terus terjadi pada tahun 2025. Adapun pemantik terjadinya PHK adalah kenaikan upah minimum 8,5%, pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) 12%, ditambah permintaan turun dan produk tidak terjual lantaran pelemahan daya beli.
"PHK masih akan terus terjadi khususnya sektor padat karya. Penyebabnya kenaikan upah minimum dan PPN 12% tapi pengaruhnya sedikit. Pengaruh paling besar adalah order turun dan produk tidak terjual," kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi kepada KONTAN, Senin (30/12/2024).
Menurut dia, perdagangan produk tekstil di marketplace juga didominasi barang-barang impor sehingga produk lokal tidak laku di pasar domestik. Tak pelak, kondisi tersebut membuat perusahaan menurunkan volume produksi. Alhasil, saat ini kondisi industri tekstil dan produk tekstil banyak yang melakukan efisiensi sampai penutupan perusahaan.
Baca Juga: PHK Masih Tinggi, Berdampak pada Pertumbuhan Iuran BPJS Ketenagakerjaan
Sejatinya, PHK cukup marak tahun ini, yang antara lain dipicu banjir produk impor berharga murah sehingga memukul industri.
Dari data Kementerian Ketenagakerjaan, angka PHK tahun 2024 lebih tinggi dibandingkan 2023. Pada periode Januari-Desember 2023, ada 64.855 orang tenaga kerja yang ter-PHK.
Sebelumnya, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer mengatakan, telah ada sekitar 80.000 pekerja yang menjadi korban PHK sejak Januari sampai awal Desember 2024. "Total PHK tahun ini mencapai 80.000-an," ujar dia, awal pekan ini. .
Immanuel menyebutkan salah satu faktor banyaknya PHK tahun ini adalah penerapan Peraturan Menteri Perdagangan No. 8/2024 tentang kebijakan dan pengaturan impor dan impor barang jadi.
Oleh sebab itu, Kemnaker berharap Permendag 8/2024 direvisi. Tak cuma itu, dia mengaku telah menerima informasi 60 perusahaan yang tutup, melakukan PHK dan merumahkan tenaga kerja. Meski begitu, belum ada data pasti terkait jumlah PHK di 60 perusahaan tersebut.
Memang, banjir produk impor legal berharga murah ditambah impor ilegal akibat penerapan Permendag 8/2024 banyak dikeluhkan para pelaku usaha. Kini, pengusaha menghadapi tantangan lain. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5% dan penerapan tarif PPN 12% pada awal Januari 2025 menambah beban ganda bagi industri.
Baca Juga: Butuh Insentif Bukan Disinsentif
Dalam beberapa kesempatan, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam menyebutkan, kondisi ketenagakerjaan pada tahun depan menjadi perhatian serius bagi pelaku usaha. Sebab, jika pada akhirnya dunia usaha tidak mampu mengakomodasi kenaikan upah minimum dan efek PPN 12%, maka dunia usaha akan mempertimbangkan beberapa pendekatan.
Pertama, mengajukan keberatan atas kenaikan upah minimum. "Kedua, melakukan efisiensi atau pemutusan hubungan kerja. Kenaikan upah yang tidak didasarkan pada perhitungan yang transparan dan jelas, dikhawatirkan dapat meningkatkan beban biaya perusahaan," kata dia. Opsi ketiga, pelaku usaha akan menunda rencana investasi.
Pengamat Ketenagakerjaan Tajudin Nur Efendy menyebutkan, potensi PHK terutama di sektor padat karya pada 2025 tak bisa dihindarkan. Pemantiknya, kenaikan upah minimum yang cukup tinggi dibarengi pemberlakuan tarif PPN 12%. Di sisi lain, daya beli menurun. Sementara kinerja produk tekstil dan pakaian jadi juga melemah tertekan produk impor.
"Apindo dan Kadin sudah wanti-wanti adanya kenaikan upah minimum 6,5% dan pemberlakuan PPN 12% bisa membuka opsi efisiensi atau PHK untuk menjaga keuangan perusahaan," kata dia.
Selanjutnya: Turun 2,65% Sepanjang 2024, IHSG Jadi Indeks dengan Kinerja Terburuk di ASEAN
Menarik Dibaca: Katalog Promo Alfamidi Hemat Satu Pekan Periode 30 Desember 2024-5 Januari 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News