kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perjanjian swap bilateral saat ini dinilai belum perlu diaktifkan, ini alasannya


Minggu, 05 April 2020 / 18:25 WIB
Perjanjian swap bilateral saat ini dinilai belum perlu diaktifkan, ini alasannya
ILUSTRASI. Pengunjung menghitung uang dolar Amerika Serikat di money changer Ayu Masagung, Jakarta, Kamis (19/3/2020).


Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menilai, saat ini perjanjian swap bilateral belum perlu untuk diaktifkan oleh Bank Indonesia (BI).

Mengingat, kondisi first line of defense masih solid untuk meredam capital flight (arus dana asing keluar) dalam jangka pendek, yang disebabkan oleh adanya wabah virus Corona (Covid-19).

Baca Juga: Indef: Intervensi BI menjaga rupiah masih belum cukup

"Apabila first line of defense seperti cadangan devisa, kebijakan makroekonomi, kebijakan makroprudensial, dan kebijakan fiskal bisa tetap solid, maka diperkirakan akan dapat meredam tekanan nilai tukar yang didorong oleh keluarnya dana asing dari pasar keuangan domestik," ujar Josua kepada Kontan.co.id, Minggu (5/4).

Sementara itu, perjanjian swap bilateral yang merupakan second line of defense, dinilai perlu terus diperkuat dalam rangka meredam tekanan nilai tukar setelah first line of defense dirasa sudah tidak dapat lagi untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.

Menurut Josua, penguatan second line of defense diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan pasar atas tersedianya buffer cadangan devisa (cadev) yang memadai bagi Indonesia. Selain itu, penguatan ini juga digunakan untuk mengantisipasi potensi FX liquidity shock ke depannya.

Baca Juga: Texas Chicken bakal listing 9 April, ini rencana penggunaan dana IPO Cipta Selera

"Dengan penguatan first line of defense dan second line of defense serta dikombinasikan dengan stimulus kebijakan fiskal, bauran kebijakan BI yang bersifat akomodatif, dan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bersifat Countercyclical, maka diperkirakan akan dapat menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dalam jangka pendek ini," ungkapnya.

Lebih lanjut, kata Josua, kebijakan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan, telah menunjukkan adanya koordinasi antarlembaga yang baik.

Seperti dengan otoritas keuangan BI, OJK, dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), dalam rangka menyiapkan langkah-langkah penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional. Khususnya, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial, serta pemulihan dunia usaha yang terdampak.

Oleh sebab itu, dengan berbagai respons pemerintah ini diharapkan dapat menjaga kekuatan dari first line of defense.

Adapun untuk saat ini, Josua mengimbau agar BI dapat memitigasi potensi risiko likuiditas valuta asing yang dapat terjadi ke depannya.

"Tentunya, dengan tetap menyiapkan penguatan second line of defense dengan bekerja sama dan berkoordinasi dengan bank sentral global, khususnya terkait dengan perjanjian swap bilateral yang perlu dipersiapkan," kata Josua.

Baca Juga: IHSG pekan depan diprediksi terseret kasus virus corona dan pelemahan rupiah

Selanjutnya, apabila kondisi wabah virus Corona bisa mulai membaik setidaknya paling cepat pada awal Kuartal ke-III, maka nilai tukar rupiah bisa mulai membaik dan menguat sampai akhir tahun 2020.

Josua memproyeksikan rupiah bisa berada pada kisaran Rp 15.000 - Rp 16.000 di akhir tahun ini. Namun, hanya berlaku apabila sentimen di pasar juga sudah mulai membaik.

"Jika mulai membaik dan dana asing yang saat ini sudah keluar mungkin sekitar US$ 8 miliar bisa balik lagi ke dalam negeri, sehingga itu akan cukup signifikan untuk bisa mendorong penguatan rupiah," ungkap dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×