kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perjanjian MLA dengan Swiss akan bantu Ditjen Pajak menyidik tindak pidana pajak


Rabu, 06 Februari 2019 / 21:19 WIB
Perjanjian MLA dengan Swiss akan bantu Ditjen Pajak menyidik tindak pidana pajak


Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia telah resmi menandatangani perjanjian mutual legal assistance (MLA) dengan Swiss, Senin (4/2) lalu. Tujuan utama perjanjian MLA tersebut, di antaranya, memerangi kejahatan di bidang perpajakan (tax fraud). Perjanjian ini akan membantu Direktorat Jenderal Pajak menyidik kasus tindak pidana pajak.

Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menyambut baik perjanjian tersebut. Dengan adanya MLA antara Indonesia dan Swiss, sengketa perpajakan yang melibatkan kedua negara jadi lebih mudah dikomunikasikan dan dikoordinasikan penyelesaiannya.

"Ini bagus untuk mempercepat penyelesaian dispute pajak. Meskipun pada program Tax Amnesty kemarin Swiss tidak masuk dalam lima besar negara asal deklarasi harta," ujar Robert, Rabu (6/2).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama, menambahkan, MLA tersebut dapat dimanfaatkan dalam hal melakukan penyelidikan atau penyidikan tindak pidana perpajakan saat ada kasus yang terjadi.

"Itu akan memperkuat proses hukum melalui bantuan dari otoritas atau penegak hukum di Swiss, misalnya, untuk pengambilan kesaksian, penggeledahan properti, pelacakan, pembekuan dan penyitaan aset hasil tindak pidana yang ada di Swiss," terang Hestu saat dihubungi Kontan.co.id.

Akan tetapi, Hestu mengatakan, DJP belum membuat perhitungan khusus terkait seberapa besar potensi kembalinya uang pajak dengan adanya perjanjian dengan Swiss tersebut.

Sebab, berdasarkan kesepakatan Automatic Exchange of Information (AEOI), Indonesia dan Swiss baru akan mempertukarkan informasi keuangan untuk pertama kali pada bulan September 2019. "Jadi kita belum memiliki data-data aset finansial WNI kita di Swiss," ungkap Hestu.

Sementara, terkait pelaksanaan AEOI dengan Singapura, Hestu mengaku masih memproses dan menganalisa data yang telah diterima pada September 2018 lalu.

Menurutnya, belum ada kasus tertentu atau pemanfaatan yang dilakukan dari hasil pertukaran informasi pajak antara Indonesia dan Singapura sampai saat ini.

Adapun, perjanjian MLA Indonesia dan Swiss diharapkan DJP akan menutup ruang bagi wajib pajak (WP) untuk melakukan penghindaran pajak dengan menyembunyikan aset di Swiss atau negara lain yang memiliki perjanjian serupa.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, penandatangan perjanjian MLA antara Indonesia dan Swiss merupakan kemajuan.

Dalam analisisnya yang diterima Kontan.co.id, Selasa (6/2), Yustinus menyebut, jumlah aset global di offshore atau suaka pajak mencapai 10% PDB global atau US$ 5,6 triliun. Sementara, sebesar US$ 2,3 triliun di antaranya disimpan di Swiss.

Swiss juga merupakan negara suaka pajak tertua dan paling diminati. Meski begitu, daya tarik Swiss sebagai tax haven terus menurun dari 45% porsi global hingga tinggal 28% di tahun 2015.

"Penurunan tersebut terjadi karena terungkapnya beberapa skandal penggelapan pajak yang melibatkan perbankan Swiss. Tak hanya itu, Pemerintah Swiss pun berinisiatif melonggarkan kerahasiaan dan bekerja sama dengan negara lain," terangnya.

Meski penandatanganan perjanjian sudah dilakukan, tetapi Yustinus pun memandang perlunya dilakukan pengujian yang mendalam dan menyeluruh agar diperoleh hasil analisis yang akurat dan dapat dijadikan dasar bagi penegakan hukum.

"Tindak pidana perpajakan merupakan pintu masuk yang paling mungkin dilakukan. Tentu saja koordinasi dan sinergi kelembagaan mutlak dibutuhkan, maka pembentukan gugus tugas antara KPK, Polri, Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, dan Ditjen Pajak perlu segera dibentuk," tutur Yustinus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×