Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Memanasnya perang dagang antara China dengan Amerika Serikat, secara tidak langsung akan berimbas ke beberapa negara lainnya. China nampaknya ingin menarik sekutu di Asia Tenggara untuk melawan kebijakan Tarif Trump, sekaligus siap retaliasi ke negara lain jika mematuhi permintaan AS untuk ikut menekan China.
Indonesia sendiri memiliki hubungan dagang yang baik dengan kedua negara, baik China maupun Amerika Serikat. Sehingga ekonom menyarankan Indonesia tidak perlu berpihak dominan kepada salah satu negara, namun harus tetap berada di tengah-tengah sebagai cerminan negara yang berdaulat tanpa dominasi pihak asing.
Ekonom Kepala Samuel Sekuritas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi menyampaikan, negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan AS beberapa Waktu lalu sudah menjadi langkah yang tepat, mengingat yang tujuan AS menetapkan kebijakan tarif adalah untuk mengurangi defisit negaranya.
"Saya tahu dari tim negosiasinya (pemerintah Indonesia), jadi bukan kemudian untuk membuat kita lebih dekat dengan Amerika Serikat Atau menjauh dari China, kan kita juga masih membutuhkan China. Agak mustahil kita untuk kemudian memilih di antara dua yang memang merupakan partner terbesar kita," ungkap Fithra saat dihubungi Kontan, Senin (21/4).
Baca Juga: Lima Cara China Menjerat Amerika, Paman Sam Terpojok!
Lebih lanjut Fithra menjelaskan, secara prinsip gravitasi ekonomi dalam international economics, China bisa dibilang sebagai teman atau mitra dagang yang paling penting dikarenakan secara konteks geografis adalah yang paling dekat wilayahnya dengan Indonesia. Bahkan Indonesia sudah berada dalam satu kongsi regional comprehensive economic partnership dengan ASEA China, FTA dan lainnya.
Di sisi lain Fithra juga menyebut, kritik AS terkait non tariff barriers dalam laporannya telah jauh hari di rilis sebelum Trump mengumumkan kebijakan Tarifnya. Sehingga menurutnya, pemerintah Indonesia tentu telah mempertimbangkan hal-hal tersebut dengan baik untuk kemudian dinegosiasikan.
"Jadi saya rasa masih manageable-lah, kita bukan dalam konteks yang harus memilih diantara dua negara. Dan untuk sistem pembayaran seperti QRIS dan GPN Ini suatu hal yang sebenarnya bisa dinegosiasikan, bukan hal yang harus kita takutkan," ungkapnya.
Begitupun dengan TKDN yang menurut Fithra menjadi beban industri karena perusahaan akan semakin sulit Untuk mendapatkan input produksi sehingga pada akhirnya menjadi tidak kompetitif, dan Indonesia tidak terlibat dalam jaringan rantai produksi regional dan global Karena TKDN yang terlalu tinggi.
"TKDN mungkin boleh saja tetapi tidak terlalu tinggi juga. Karena itu juga akan kemudian membuat industri kita tidak efisien. Yang kedua soal import kuota yang banyak rent seeking disitu, dan itu sejelek-jeleknya trade policy. Yang lebih bagus itu walaupun tidak sempurna adalah pengenaan import tarif," ungkap Fithra.
Dengan segala skenario hasil negosiasi tersebut, Fithra optimistis bahwa ada potensi besar AS akan memberikan tarif 0% kepada Indonesia.
"Lainnya pakai skenario weighted average tarif antara Indonesia dan AS antara 4%-5% kalau berdasarkan hitungan weighted average tarif. Jadi saya rasa masih memungkinkannya untuk kemudian bisa pakai tarif yang lebih redah," ungkapnya.
Baca Juga: Jurus Pemerintah Tekan Tarif, RI Bakal Kerek Impor LPG dari AS hingga 85%
Ekonom dan Direktur Segara Institute Piter Abdullah menyampaikan, Indonesia seharusnya tidak buru-buru melakukan negosiasi dengan salah satu negara, tidak China maupun AS. Sebaliknya Indonesia seharusnya Indonesia mendahulukan untuk menggalang kerjasama regional misalnya Asean plus Jepang dan Korsel.
"Negosiasi dengan AS atau pun China akan lebih mudah apabila dilakukan bersama-sama secara regional bukan secara individu. Kerjasama regional yang lebih kuat bisa menjadi modal besar dalam negosiasi karena mengurangi ketergantungan terhadap AS ataupun China," ungkapnya kepada Kontan.
Sementara itu Kepala Makroekonomi dan Keuangan Indef Muhammad Rizal Taufikurahman mengatakan, Non-Tariff Barriers (NTB) seperti TKDN, HAKI, QRIS, dan GPN pada dasarnya merupakan instrumen kebijakan ekonomi strategis yang ditujukan untuk melindungi dan memperkuat kapasitas domestik Indonesia. Ia mencontohkan, TKDN yang tujuannya mendorong industrialisasi lokal dan penciptaan nilai tambah dalam negeri, sementara GPN dan QRIS bertujuan menjaga kedaulatan sistem pembayaran nasional.
"Jika barrier-barrier ini dihapus atau diubah mengikuti keinginan AS, maka Indonesia berisiko mengalami kemunduran dalam agenda pembangunan industrinya. Ini juga membuka celah dominasi asing di sektor-sektor vital, termasuk sistem keuangan dan teknologi," ungkapnya kepada Kontan.
Dari sisi ekonomi, Rizal menilai penghapusan NTB tersebut dapat meningkatkan ketergantungan pada produk dan teknologi impor. Industri dalam negeri akan semakin sulit bersaing, terutama sektor-sektor yang masih dalam tahap pengembangan.
Menurutnya hal ini dapat menghambat pertumbuhan sektor manufaktur, menekan penyerapan tenaga kerja, dan memperbesar defisit transaksi berjalan. Dalam jangka panjang, ketidakseimbangan ini bisa merusak fondasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang secara inklusif dan berkelanjutan yang sudah dibangun.
"Dengan kemungkinan tersebut, maka desakan AS terhadap NTB Indonesia perlu disikapi secara hati-hati dan strategis. Tidak semua tuntutan harus diikuti, apalagi bila mengancam kepentingan nasional jangka panjang," ungkapnya.
Baca Juga: Negosiasi Tarif AS Melalui Impor LPG dan Minyak, Indonesia Perlu Waspadai Ini
Lebih lanjut, Indonesia perlu menegosiasikan posisi yang adil, yang tetap menjaga haknya untuk memperkuat industri dan kedaulatan ekonominya. Trade-off antara liberalisasi dan proteksi harus dikelola secara cerdas.
Adapun risiko terbesar dari penghilangan NTB menurut Rizal adalah melemahnya proteksi terhadap industri nasional yang masih rentan dan masih menghadapi tantangan krusial. Sektor-sektor padat karya, seperti sektor tekstil dan alas kaki yang sangat sensitif terhadap kompetisi harga global, akan terdampak paling signifikan.
Selain itu, hilangnya dominasi sistem pembayaran lokal akibat tekanan terhadap QRIS dan GPN akan berdampak pada kedaulatan data transaksi dan potensi kenaikan biaya transaksi lintas negara.
"Namun, ada juga peluang yang bisa muncul jika liberalisasi dilakukan secara cermat. Akses terhadap teknologi asing dan produk berkualitas dapat mendorong efisiensi di sektor hilir dan mendorong konsumen mendapatkan barang dengan harga kompetitif," ungkapnya.
Di sisi lain, menurut Rizal peluang ini hanya bisa termanfaatkan optimal bila industri domestik cukup tangguh. Sehingga dalam kondisi saat ini, liberalisasi penuh justru lebih banyak menimbulkan risiko ketimbang manfaat, sehingga Indonesia perlu menjaga keseimbangan antara keterbukaan dan proteksi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News