Reporter: Irma Yani | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Lambannya penyerapan anggaran Kementrian Lembaga (K/L) disebut-sebut sebagai penyokong utama tingginya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) tahun ini. Maklum saja, tahun ini SILPA diprediksikan jauh lebih tinggi dibandingkan SILPA tahun 2009 yang sebesar Rp 38 triliun.
"SILPA tahun 2009 kan Rp 38 triliun, lalu Silpa semester I-2010 sekitar Rp 45 triliun. Jadi kalau tidak ada upaya besar, SILPA akhir 2010 ya sekitar Rp 50 triliun," kata pengamat Ekonomi Toni Prasentiono kepada KONTAN, Sabtu (13/11).
Namun, katanya, jika pemerintah bekerja kerja keras, SILPA tersebut bisa diturunkan atau diminimalkan. Hanya saja, "Menurut saya, pemerintah harusnya tidak boleh lagi punya SILPA atau anggaran tidak terserap. Kan pada 2009 angkanya besar Rp 38 trilliun, itu kalau uangnya diberi ke pengusaha misalnya, itu bisa dibuatkan monorel dan subway. Jadi kalau dijumlah subway dan monorel itu Rp 35 triliun, bisa," terangnya.
Hanya saja, proses penggunaan atau alokasi SILPA itu tidak bisa seenaknya tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). "Maksud saya adalah kok Pemerintah nggak mampu serap APBN yang sudah tersedia dan disetujui DPR. Tapi di sisi lain, itu mau bikin subway atau monorel saja susahnya minta ampun, ini ironis," ucapnya.
Untuk itu, Toni melihat bahwa Pemerintah bekerja keras untuk mengejar penyerapan anggaran sisa akhir tahun ini. "Jadi di bulan tersisa ini kita harus bisa mengejar yang bisa di manage. Kalau swasta kan sifatnya pasar, kalau Pemerintah kan tidak, jadi jangan dikira gampang. Yang bisa dikontrol pemerintah itu adalah absorbsi APBN supaya tidak terjadi SILPA," ucapnya.
Namun, Toni menyatakan heran, dengan SILPA yang cukup besar, sementara itu Pemerintah masih sibuk mencari pendanaan melalui pinjaman. "Di sisi lain, pemerintah masih sibuk cari utang dengan menerbitkan obligasi. Ini kok lucu," tandasnya.
Sementara itu, Pjs Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Agus Suprianto pun memperkirakan, SILPA tahun ini akan lebih besar dibandingkan tahun lalu, salah satunya akibat penyerapan anggaran K/L yang lamban. Namun, Agus enggan memaparkan seberapa besar penghitungannya. "Kita memperkirakan defisitnya kan rendah, mungkin sekitar 1,5% karena pendapatan mungkin itu over target sementara outstandingnya kemungkinan di bawah target. Jadi ada kemungkinan SILPA nya melebihi SILPA tahun lalu," terangnya. Namun, Agus menuturkan, hal lain yang memengaruhi tingginya SILPA tahun ini selain rendahnya penyerapan anggaran pun, disumbang dari harga minyak dan nilai tukar yang realisasinya ternyata berada dibawah asumsi makro.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News