kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45917,87   8,56   0.94%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Penyadapan itu isu lawas yang kembali tenar


Sabtu, 09 November 2013 / 11:16 WIB
Penyadapan itu isu lawas yang kembali tenar
ILUSTRASI. Promo Beli 1 Gratis 1 Cinema XXI via Debit BRI (dok/Cinema XXI)


Reporter: Asnil Bambani Amri | Editor: Asnil Amri

JAKARTA. Praktik penyadapan bukanlah isu baru bagi Pemerintah Indonesia. Praktik tersebut sudah berlangsung sejak sebelum Indonesia merdeka. Pada 2004, Kedutaan Besar Indonesia di Myanmar juga pernah disadap.

Demikian disampaikan pengamat hubungan internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ganewati Wulandari dalam diskusi bertajuk Sadap Bikin Tak Sedap di Jakarta, Sabtu (9/11).

"Jadi, kalau bicara masalah penyadapan yang sekarang jadi isu ini, ini bukan isu yang baru karena praktik-praktik penyadapan itu umurnya sudah setua manusia. Pada Perang Dunia pertama, ke-2, kita juga melihat praktik-praktik itu sudah terjadi dan itu lazim. Bahkan, pada Perang Dunia ke-2, lima negara secara resmi mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian pertukaran intelijen," katanya.

Ganewati mengatakan, sebenarnya praktik penyadapan antara negara ini dilarang jika mengacu pada perjanjian Vienna mengenai hubungan diplomatik. Namun, menurut Ganewati, pada kenyataannya, sulit bagi setiap negara untuk tidak melakukan penyadapan.

"Duta besar di mana pun, ada intelijennya di sana, tapi persoalannya bagaimana mengatur apa saja yang disadap," ucapnya.

Dia juga mengatakan, praktik penyadapan ini bisa menimbulkan dampak yang masif. Dalam konteks hubungan internasional, katanya, praktik penyadapan terhadap negara lain dapat mengguncang hubungan antarnegara.

"Karena suatu negara melakukan hubungan dengan negara lain kan bicara persoalan trust (kepercayaan)," katanya.

Pengamat Intelijen dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia Rizal Darmaputra mengatakan, hampir semua kedutaan melakukan praktik intelijen. Ada staf kedutaan yang terang-terangan mengakui dirinya melakukan tugas intelijen. Namun, juga ada yang melakukannya dengan sembunyi-sembunyi.

Hal yang terpenting, lanjutnya, adalah bagaimana Indonesia dapat mengendus agen intelijen yang tidak di bawah payung diplomatis tersebut.

"Sejauh mana kita bisa mengendus yang tidak berlindung di bawah payung diplomatis. Memahami informasi yang dicari seperti apa, itu yang harus kita pahami," ucapnya.

Penting bagi pemerintah untuk merespons isu penyadapan ini dengan langkah bijak, yakni dengan mengevaluasi lembaga intelijen dan memperkuat posisi Lembaga Sandi Negara.

"Tapi, pembagian tugas antara lembaga harus juga diperkuat, jangan sampai lembaga lain merasa kewenangannya diambil. Jadi, harus ada penguatan Lembaga Sandi Negara dan diperjelas tugas masing-masing," tuturnya.

Belakangan ini, Indonesia dikejutkan dengan isu penyadapan yang dilakukan badan intelijen Amerika Serikat dan Australia. Laporan terbaru yang diturunkan laman harian Sydney Morning Herald menyebutkan, kantor Kedutaan Besar Australia di Jakarta turut menjadi lokasi penyadapan sinyal elektronik.

Menanggapi ini, Pemerintah Indonesia telah meminta konfirmasi kepada Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Australia mengenai penyadapan yang diduga telah dilakukan kedua negara tersebut. Hasilnya, baik AS maupun Australia tidak membenarkan, juga tidak menyangkal. (Icha Rastika/Kompas.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×