Reporter: Handoyo | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tabungan perumahan Rakyat (Tapera) masih menjadi polemik dikalangan pengusaha. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menolak tegas peberlakuan ketentuan tersebut bila sumber pembiayaan penyediaan rumah rakyat hanya dibebankan kepada dunia usaha.
Dalam rilisnya, Apindo menilai selama ini pungutan bagi dunia usaha baik perusahaan dan pekerja atas prosentase tertentu dari penghasilan pekerja sudah sangat besar. Sehingga, dengan pungutan yang akan dibebankan nanti semakin membuat dunia usaha tidak kompetitif.
Besaran pungutan yang selama ini ditanggung oleh pengusaha dapat mencapai 18,24%-19,74% dari penghasilan kerja. Perinciannya, untuk jaminan sosial ketenagakerjaan seperti Jaminan Hari Tua sebesar 3,7%, Jaminan Kemarian 0,3%, Jaminan Kecelakaan Kerja 0,24%-1,74% dan Jaminan Pensiun 2%.
Sementara itu, untuk jaminan sosial kesehatan beban yang ditanggung pengusaha mencapai 4%. Untuk cadangan pesangon besarannya sekitar 8%.
Komponen perumahan juga sudah tercakup dalam komponen KHL (Komponen Hidup Layak) dalam perhitungan upah minimum. Selain itu, dalam program BPJS Ketenagakerjaan terdapat bantuan uang muka perumahan dan subsidi bungan kredit pemilikan rumah (KPR).
BPJS Ketenagakerjaan telah memberikan bantuan uang muka perumahan untuk pekerja BPJS Ketenagakerjaan dengan masa kepesertaan minimal satu tahun, dengan harga rumah maksimal 500 juta.
Peserta BPJS Ketenagakerjaan juga dapat mencairkan sebagian JHT maksimal 30% dari masa iur 10 tahun yang dapat digunakan untuk membeli rumah.
Jika UU Tapera tetap akan diberlakukan, maka untuk peserta dari unsur pekerja formal agar pembiayaannya tidak bersumber dari penambahan pungutan terhadap pemberi kerja atau dunia usaha.
Namun, dapat mengoptimalisasi dari dana-dana publik yang telah dihimpun dari pemberi kerja, antara lain dana jaminan sosial ketenagakerjaan yang dihimpun oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News