kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.742.000   28.000   1,63%
  • USD/IDR 16.354   42,00   0,26%
  • IDX 6.516   -131,79   -1,98%
  • KOMPAS100 926   -15,28   -1,62%
  • LQ45 727   -11,27   -1,53%
  • ISSI 204   -5,48   -2,62%
  • IDX30 379   -5,12   -1,33%
  • IDXHIDIV20 454   -6,82   -1,48%
  • IDX80 105   -1,64   -1,53%
  • IDXV30 108   -1,53   -1,40%
  • IDXQ30 124   -1,87   -1,49%

Penguasaha Harap BRICS Jadi Jalan Perluasan Pasar Sawit RI


Jumat, 14 Maret 2025 / 13:05 WIB
Penguasaha Harap BRICS Jadi Jalan Perluasan Pasar Sawit RI
ILUSTRASI. Pelaku industri sawit berharap masuknya Indonesia keanggotaan blok ekonomi BRICS bisa menjadi peluang perluasan pasar . REUTERS/Lim Huey Teng


Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku industri sawit berharap masuknya Indonesia keanggotaan blok ekonomi yakni Brazil, Russia, India, China, and South Africa (BRICS) bisa menjadi peluang perluasan pasar dan investasi bagi komoditas sawit dalam negeri. 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin), Rapolo Hutabarat menyebut resminya Indonesia menjadi anggota ke-10 BRICS pada 6 Januari tahun ini merupakan kesempatan besar untuk sektor sawit. Apalagi, kata dia, negara-negara BRICS tidak ada satu pun yang menerapkan hambatan dagang terhadap komoditas ini. 

Dia menjelaskan bahwa pangsa pasar BRICS di dunia sangat besar yakni sebanyak 3,9 miliar orang atau 48% dari total populasi dunia yang mencapai 8,1 miliar. 

Baca Juga: BRICS Cari Alternatif Sistem Pembayaran Antar Anggota di Tengah Ancaman Tarif AS

"Ini peluang karena ke-10 anggota BRICS itu tidak ada yang menerapkan hambatan dagang terhadap produk sawit,” jelasnya dalam keterangan resminya, Jum'at (14/3). 

Selain menambah pangsa pasar, penguasaha berharap kerja sama pemerintah dengan BRICS ini menjadi kunci menarik investasi untuk sektor sawit dari negara-negara anggota BRICS. 

Apalagi, rata-rata pendapatan per kapita negara BRICS mencapai US$11.200 atau hampir mendekati pendapatan pendapatan per kapita rata-rata dunia yang mencapai US$14.400. 

"Dan dari 10 itu ada dua yang melewati pendapatan per kapita rata-rata dunia yaitu UEA dan Rusia. Tiongkok itu masih US$13.000,” ujarnya.

Selanjutnya yang menjadi kunci untuk mencapai target swasembada dan ekonomi 8% yaitu dalam perluasan hilirisasi. 

Menurut Rapolo, Indonesia masih mengabaikan sawit untuk bernilai tambah tinggi seperti produk fitonutrien terutama betakaroten, tokoferol dan tokotrienol dan lain-lain. 

Baca Juga: Tolak Gabung BRICS, Arab Saudi Justru Gelontorkan Investasi Rp9.800 Triliun ke AS

Padahal, lanjut dia, pangsa pasar dari tiga jenis produk tadi dalam 3 tahun terakhir tembus US$10 miliar. Namun, tidak ada satupun perusahaan farmasi Indonesia menjadi produsen produk sawit bernilai tambah tinggi tersebut. 

Dia menyebut potensi produk fitonutrien itu bisa mencapai US$15 miliar per tahun, yang artinya 50 persen dari total ekspor sawit yang mencapai US$30 miliar. 

“Maka perlu barangkali alih teknologi, insentif dari pemerintah supaya ada investasi. Mungkin ini menjadi salah satu pokok dalam kita bernegosiasi dengan BRICS supaya investasi bisa masuk,” ujar Rapolo.

Selain itu, hilirisasi untuk biomassa sawit juga belum dimasifkan di Indonesia.

“Ini masih diabaikan padahal dari sisi potensi ekonomi luar biasa. Memang belum bisa kalkulasi, tapi paling tidak hilirisasi  sebagai bahan organik bagi perkebunan itu sangat mendesak untuk kesuburan tanah,” ungkapnya. 

Baca Juga: Trump Kembali Ancam Tarif 100% untuk Mencegah BRICS Gantikan Dolar AS

Diketahui, Indonesia baru saja dinyatakan resmi bergabung menjadi anggota organisasi blok ekonomi Brazil, Russia, India, China, and South Africa (BRICS) sejak 6 Januari 2025. 

Bergabungnya Indonesia menggenapkan jumlah anggota BRICS menjadi sepuluh menyusul empat negara lain yang lebih dahulu bergabung pada tahun 2024, yaitu Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab. Selain anggota, BRICS juga memiliki delapan negara mitra, yaitu Belarusia, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Malaysia, Thailand, Uganda dan Uzbekistan. 

Sebelum resmi bergabung menjadi anggota BRICS, rencana Indonesia untuk bergabung sudah menuai pro dan kontra. Pihak yang mendukung mengemukakan keuntungan dan manfaat bagi Indonesia jika bergabung dengan BRICS. Peluang ekonomi dan investasi serta potensi kemitraan dengan negara berkembang dunia yang semakin luas menjadi alasannya.

Namun, ada juga yang menyayangkan rencana ini. Bergabungnya Indonesia dengan BRICS dianggap mengkhianati prinsip politik luar negeri Indonesia yang tidak bergabung dengan salah satu blok di dunia (nonblok). Alasan lain adalah bahwa dominasi Rusia dan Tiongkok dalam organisasi ini akan membuat Indonesia terjebak dalam pengaruh dan ada di bawah dominasi dua negara tersebut.

Selanjutnya: Pasar Bergejolak, Warren Buffett Alihkan Uang Tunai ke Surat Utang AS

Menarik Dibaca: Dorong Perempuan Sehat dan Berdaya untuk Cegah KDRT Bertambah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES) Brush and Beyond

[X]
×