Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan tingkat pengangguran Indonesia akan naik menjadi 5% pada 2025 dari 4,9% pada 2024. Dengan proyeksi ini, Indonesia berpotensi menempati posisi kedua tertinggi dalam tingkat pengangguran di Asia.
Kondisi ini dipandang sejumlah ekonom sebagai sinyal peringatan serius bagi perekonomian nasional.
Ekonom dan Guru Besar Universitas Andalas, Syafruddin Karimi menilai, kenaikan pengangguran dapat menekan daya beli masyarakat secara signifikan. Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang utama produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
"Ketika banyak orang kehilangan pekerjaan atau kesulitan mendapatkan penghasilan, konsumsi akan melemah, dan ini bisa menahan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia," ujarnya kepada Kontan, Senin (9/6).
Baca Juga: Waspada Tingkat Pengangguran Tinggi pada 2025, Ekonom Peringaktkan Hal Ini
Tak hanya itu, pengangguran yang tinggi juga dapat memperlebar kesenjangan sosial dan memicu potensi ketidakstabilan. Dalam situasi seperti ini, kemiskinan dan tingkat kriminalitas dikhawatirkan akan meningkat, terutama di wilayah perkotaan yang rentan.
Dari sisi produktivitas, tingkat pengangguran yang terus meningkat mencerminkan adanya ketidaksesuaian antara keterampilan tenaga kerja dan kebutuhan industri. Jika tidak segera diatasi, hal ini dapat melemahkan daya saing Indonesia di tingkat global.
Selain itu, tingginya pengangguran akan menjadi beban fiskal tambahan bagi pemerintah yang harus memperluas program bantuan sosial di tengah potensi menurunnya penerimaan pajak.
Penciptaan Lapangan Kerja Masih Lambat
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa pada kuartal I-2025, Indonesia berhasil menciptakan sekitar 594.000 lapangan kerja baru. Namun, jumlah dinilai masih tergolong lambat dibandingkan kebutuhan pasar tenaga kerja nasional yang bertambah sekitar 2,5 hingga 3 juta orang setiap tahunnya.
Menurut Syafruddin, penciptaan lapangan kerja tidak bisa hanya mengandalkan investasi. Pemerintah perlu mempercepat program pelatihan tenaga kerja, mendorong pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta memperluas program padat karya di berbagai daerah. UMKM yang saat ini menyerap lebih dari 97% tenaga kerja nasional dianggap sebagai kunci penting dalam upaya menekan angka pengangguran jika diberikan dukungan optimal.
Pemerintah juga didorong untuk melakukan reformasi pada sistem pendidikan agar lebih selaras dengan kebutuhan dunia kerja, termasuk penguatan sektor ekonomi digital dan transisi energi.
Tingginya angka pengangguran pada 2025 membawa sejumlah risiko yang perlu diwaspadai baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Selain melemahkan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi, pengangguran yang tinggi juga mengancam stabilitas sosial dan politik, karena ketegangan sosial dapat merusak iklim investasi dan memperlambat pemulihan ekonomi.
Baca Juga: IMF Prediksi Pengangguran Indonesia Tertinggi Kedua di Asia, Begini Respons Istana
Apabila tidak diatasi dengan cepat, Indonesia juga terancam gagal memaksimalkan momentum bonus demografi. Potensi besar dari angkatan kerja produktif justru bisa menjadi beban ekonomi jika tidak terserap di sektor formal.
Pemerintah diharapkan segera memperkuat sinergi lintas sektor dengan fokus pada penciptaan lapangan kerja, pelatihan tenaga kerja berbasis kebutuhan industri, serta pemberdayaan ekonomi digital dan kewirausahaan.
Di sisi lain, Syafruddin mengimbau masyarakat untuk meningkatkan daya saing melalui pelatihan mandiri, adaptasi teknologi, dan diversifikasi keterampilan agar tetap relevan di pasar kerja yang semakin kompetitif.
Selanjutnya: Ini Alasan Kejagung Cegah Dirut Sritex Iwan Kurniawan Berpergian ke Luar Negeri
Menarik Dibaca: Harga Emas Dunia Menguji Naik Setelah Tergelincir Dua Hari
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News