Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Handoyo .
Menurut Prianto, semua pihak (otoritas pajak dan wajib pajak) harus kembali ke doktrin realisasi yang dianut oleh UU PPh beserta amandemennya. “Kalau ada yang bertanya dari mana kita tahu bahwa UU PPh menerapkan doktrin realisasi tersebut, kita harus lihat ke perumusan pengertian penghasilan sesuai UU PPh 1983 atau UU No. 7/1983 yang tidak pernah berubah hingga kini” katanya.
“UU PPh di Indonesia ini dirumuskan pada periode 1981-1983, disahkan di 1983, dan berlaku mulai 1 Januari 1984. Pada saat itu, berlaku Prinsip Akuntansi Indonesia 1973 yang mengusung konsep realisasi”, ujar Prianto.
Perubahan UU PPh dengan UU Cipta Kerja tidak mengakibatkan konsep realisasi tersebut berubah. Dasar pertimbangannya adalah orang pribadi atau badan harus membayar pajak sesuai kemampuannya (ability-to-pay principle). “Ini adalah bentuk dari prinsip keadilan pajak dan model pemajakannya adalah realization taxation”, tegas Prianto.
Di dalam konteks perusahaan, doktrin realisasi tersebut berkaitan dengan hak tagih atas penghasilan yang sudah diakui perusahaan. “Kalau belum ada realisasi penghasilan (realizedatau realizable), bagaimana perusahaan harus melunasi utang pajaknya? Utang pajak itu harus dilunasi dengan uang," kata Prianto.
Untuk mengurangi potential tax dispute terkait penerapan PSAK 72 di atas, Prianto mengusulkan agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan peraturan yang mengacu pada Pasal 17 Peraturan Pemerintah (PP) No. 94/2010.
Secara tegas, peraturan pemerintah tersebut memberi mandat kepada DJP untuk menerbitkan peraturan yang dapat menetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya bagi Wajib Pajak karena ada perubahan PSAK. Tujuan penerbitan peraturan DJP tersebut adalah untuk memberi kepastian hukum (legal certainty) bagi perusahaan selaku wajib pajak badan
“PP No. 94/2010 merupakan aturan turunan dari UU PPh sehingga DJP memiliki legal standing untuk memberi penegasan tentang penerapan matching principle dan doktrin realisasi”, tutur Prianto. Dengan demikian, penghasilan dan/atau biaya yang masih bersifat estimasi atau pencadangan tidak diperkenankan untuk tujuan PPh.
Selanjutnya: OJK: Penerapan PSAK 74 bisa membantu mitigasi risiko pada industri asuransi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News