Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Bank Dunia alias World Bank menilai pemerintah perlu mengadopsi strategi penerimaan pajak yang lebih berani dan proaktif untuk menjaga keberlanjutan fiskal, seiring meningkatnya risiko defisit dan potensi kekurangan penerimaan (shortfall) pada 2026-2027. Dalam laporan bertajuk Indonesia Economic Prospect Edisi Desember 2025, lembaga global ini merekomendasikan beberapa upaya untuk meningkatkan penerimaan negara.
Salah satunya, Bank Dunia memandang perlunya penyesuaian ambang batas PPN dan PPh Badan yang saat ini lebih tinggi dibandingkan negara lain, serta perluasan basis PPh Badan dengan menghapus tarif khusus, insentif tertentu, dan pengurangan lainnya. Pengurangan pengecualian PPN di sektor-sektor tertentu juga dinilai dapat meningkatkan penerimaan tanpa mengganggu netralitas pajak.
Baca Juga: Bank Dunia Dorong Reformasi Pajak RI Demi Jaga Fiskal 2026–2027
Menurut Bank Dunia, langkah-langkah ini berpotensi menambah penerimaan hingga 1,5% dari PDB. Reformasi lain yang disarankan adalah penerapan perlakuan pajak standar pada keuntungan modal (capital gains), yang tidak hanya efisien secara ekonomi tetapi juga mendukung pemerataan.
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menilai rekomendasi Bank Dunia terkait penguatan penerimaan negara secara konseptual dapat dipahami dari sudut pandang fiskal. Menurut dia, struktur Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Indonesia memang masih menyisakan persoalan mendasar, mulai dari ambang batas yang relatif tinggi hingga basis pajak yang sempit. "Tetapi rekomendasi Bank Dunia ini sensitif secara politik dan ekonomi, maka saya kira pemerintah mencari jalan tengahnya," ujar Ariawan kepada Kontan Rabu (17/12/2025).
Ariawan mencontohkan rencana perluasan basis pajak dengan menurunkan ambang batas omzet Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang saat ini berada di kisaran Rp 4,8 miliar. Menurut dia, langkah tersebut memang berpotensi meningkatkan penerimaan, tetapi juga membawa risiko inflasi jangka pendek serta resistensi politik, khususnya dari sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
"Jika dilakukan terlalu agresif, bisa menekan UMKM formal yang baru tumbuh. Maka saya kira pemerintah akan memperbaiki kondisi ini secara bertahap, tidak semata-mata untuk kepentingan penerimaan 2026," kata dia.
Ariawan juga menyoroti rekomendasi pengenaan pajak capital gain. Dari perspektif keadilan, kebijakan tersebut dinilai relevan, namun berisiko tinggi terhadap stabilitas pasar modal apabila diterapkan secara agresif sebagai pajak atas keuntungan riil. "Jalan tengah yang lebih pragmatis adalah menutup celah penghindaran pajak. Indonesia tidak harus menaikkan tarif," terang dia.
Ia menambahkan, upaya menutup blind spot kekayaan serta memperbaiki arsitektur data perpajakan dinilai jauh lebih penting.
Selanjutnya: OASA Ikut Tender PSEL Danantara di Bogor Raya dan Denpasar Raya
Menarik Dibaca: Belajar Parenting Zaman Sekarang, Ini Pendekatan Sampoerna Academy untuk Orang Tua
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













