Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan mengenai pengenaan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) kepada karyawan dan pemberi kerja tuai polemik. Pasalnya, aturan ini dinilai belum ada urgensi untuk masyarakat.
Asal tahu saja, kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ketentuan ini, mewajibkan pekerja untuk membayarkan iuran perumahan rakyat sebesar 2,5% dari upah dan 0,5% dibayarkan oleh pemberi kerja. Iuran Tapera efektif berlaku paling lambat tujuh tahun setelah penetapannya atau pada tahun 2027.
Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah menilai, kebijakan ini sangat membebani buruh, karyawan hingga pemberi kerja karena harus menanggung 3% dari dananya untuk program tersebut.
Baca Juga: Apindo Tegas Tolak Kebijakan Pemerintah untuk Iuran Tapera
Dia mencontohkan, bila Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta sebesar Rp 5 juta artinya karyawan dan pemberi kerja harus membayar Rp 150 per bulan. Perinciannya, Rp 25 ribu oleh perusahaan dan Rp 125 ribu ditanggung karyawan.
“Persoalannya apakah perusahaan mau? Berat itu, kalau perusahaan karyawannya sampai 1.000? Pelaku perusahaan akan menjerit itu. Apalagi di tengah karyawan yang dihadapkan iuran wajib BPJS,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (28/5).
Trubus mengungkapkan, karyawan juga tetap harus membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan yang juga memiliki pilihan untuk Kredit Perumahan Rakyat (KPR). Sementara itu, mereka juga akan dibebankan dengan aturan Tapera ini.
“Ini jadi berat buat dia, artinya ada tumpang tindih kebijakan yang memberatkan para pekerja,” ungkapnya.
Dia tak memungkiri, kebijakan ini ada niat baik dari pemerintah untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah. Namun, kata dia, aturan ini dikeluarkan tanpa ada sosialisasi ke publik yang kemudian menimbulkan tanda tanya besar terkait implementasinya.
“PP 21 ini belum ada urgensinya, tapi niatnya baik, ini keluar tanpa ada sosialisasi dulu tanpa ada komunikasi publik dulu, karena ujung-ujungnya masyarakat harus membayar. Artinya upah yang akan diterima akan semakin kecil, kita berharap pemerintah ke depan harus ikut memikirkan,” terangnya.
Baca Juga: Hingga Pertengahan Mei 2024, Realisasi FLPP BP Tapera Mencapai Rp 9,22 Triliun
Lebih lanjut, Trubus menambahkan, aturan ini dikhawatirkan dampaknya akan melebar salah satunya ke penciptaan lapangan kerja, sebab orang-orang yang akan membuka usaha bakal ada beban baru.
“Ini harus jadi pertimbangan diimplementasinya itu. Bagaimana mereka yang menolak seperti apa tak ada itu, harusnya ada skemanya. Saya lihat kebijakan ini, bagi mereka yang penghasilannya besar artinya kelas menengah ke atas, yang diuntungkan sebenarnya ASN, yang menjadi korban karyawan mandiri karena harus menanggung 3% sendiri,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News