Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Laporan tahunan dari Office of the United States Trade Representative (USTR) atau Kantor Perwakilan Dagang AS menyoroti sejumlah hambatan perdagangan yang dihadapi pelaku usaha AS di Indonesia.
Salah satu perhatian utama tertuju pada sistem perpajakan yang dianggap tidak transparan dan diskriminatif terhadap produk impor.
Dalam laporan bertajuk 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers, USTR menyampaikan, para pemangku kepentingan dari AS terus menyuarakan kekhawatiran terhadap proses penilaian pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Proses audit disebut rumit dan tidak transparan, diikuti dengan denda tinggi atas kesalahan administratif, serta mekanisme sengketa pajak yang panjang dan tidak adanya preseden hukum yang jelas di Pengadilan Pajak.
"Para pemangku kepentingan di AS terus menyampaikan keprihatinan mereka mengenai proses penilaian pajak DJP Kemenkeu," dikutip dari laporan tersebut, Senin (21/4).
Baca Juga: Tarif Impor AS Mencekik! Prabowo Ajukan Negosiasi Resmi dengan USTR
Selain itu, Indonesia juga dikritik atas kebijakan cukai minuman beralkohol yang dinilai diskriminatif terhadap produk impor.
Untuk minuman dengan kadar alkohol antara 5% hingga 20%, tarif cukai terhadap produk impor tercatat 24% lebih tinggi dibanding produk domestik.
Diskriminasi semakin mencolok untuk minuman dengan kadar alkohol antara 20% hingga 55%, di mana tarif cukai bagi produk impor mencapai 52% lebih tinggi dibanding produk lokal?.
Kebijakan fiskal lainnya yang menjadi sorotan adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 110 Tahun 2018 yang meningkatkan tarif pajak penghasilan (PPh) pasal 22 atas 1.147 jenis barang impor, termasuk barang konsumsi dan mewah, dengan dalih untuk menekan defisit transaksi berjalan Indonesia.
Aturan ini kemudian diperbarui melalui PMK No. 41/2022 yang efektif berlaku mulai 1 April 2022. Regulasi baru ini memperluas cakupan barang impor yang dikenakan PPh Pasal 22 dengan tarif sebesar 10% untuk 716 kode HS, 7,5% untuk 1.188 kode HS, dan 0,5% untuk 7 kode HS lainnya.
Namun, laporan juga mencatat kekhawatiran pelaku usaha atas kesulitan dalam mengklaim pengembalian pajak atau restitusi pajak yang telah dibayar di muka.
“Proses pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak penghasilan yang dipungut di awal saat impor bisa memakan waktu bertahun-tahun dan membutuhkan upaya yang besar,” sebut laporan tersebut.
Baca Juga: Perusahaan AS Keluhkan Proses Restitusi Pajak di Indonesia yang Lamban dan Rumit
Selanjutnya: Film Keluarga Mungkin Kita Perlu Waktu Tayang di Bioskop 15 Mei
Menarik Dibaca: Film Keluarga Mungkin Kita Perlu Waktu Tayang di Bioskop 15 Mei
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News