kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.470.000   6.000   0,24%
  • USD/IDR 16.718   14,00   0,08%
  • IDX 8.715   28,56   0,33%
  • KOMPAS100 1.197   3,35   0,28%
  • LQ45 858   3,52   0,41%
  • ISSI 311   1,16   0,37%
  • IDX30 440   1,49   0,34%
  • IDXHIDIV20 508   2,57   0,51%
  • IDX80 134   0,59   0,44%
  • IDXV30 139   0,34   0,25%
  • IDXQ30 140   0,74   0,54%

Penerimaan Loyo, Defisit Rawan Melebar, APBN 2025 Di Tepi Jurang?


Rabu, 17 Desember 2025 / 11:20 WIB
Penerimaan Loyo, Defisit Rawan Melebar, APBN 2025 Di Tepi Jurang?
ILUSTRASI. Penerimaan Loyo, Defisit Rawan Melebar, APBN 2025 Di Tepi Jurang?(KONTAN/Cheppy A. Muchlis)


Reporter: Adi Wikanto, Nurtiandriyani Simamora | Editor: Adi Wikanto

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Kinerja penerimaan perpajakan tahun 2025 memble. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 berpotensi melebar. Apakah ini menjadi pertanda bahwa APBN 2025 di tepi jurang? 

Realisasi penerimaan pajak hingga akhir Oktober 2025 mencapai Rp 1.459 triliun atau 70,2% dari outlook laporan semester (lapsem) 2025 sebesar Rp 2.076,9 triliun.

Outlook tersebut juga lebih rendah dibandingkan target awal penerimaan pajak dalam APBN 2025 yang dipatok sebesar Rp 2.189,31 triliun.

Dengan pencapaian tersebut, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengakui bahwa shortfall penerimaan pajak 2025 berpotensi melebar. 

Meski demikian, pemerintah berupaya agar penerimaan pajak yang berada di bawah target, tidak membuat defisit APBN akhir tahun melebar dari outlook laporan semester 2025 sebesar 2,78% terhadap produk domestik bruto (PDB).

“Kan ada effort-effort untuk dua bulan terakhir ya. Jadi (shortfall) melebar, tapi tidak melebar lebih parah,” ujar Purbaya kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Senin (15/12/2025).

Baca Juga: Resmi! ​Prabowo Teken PP Pengupahan, Ini Rumus Kenaikan UMP-UMSK 2026, Buruh Menolak

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto menyebutkan bahwa batas aman penerimaan pajak berada di kisaran Rp 2.005 triliun agar defisit APBN tetap terjaga di bawah 3%.

Namun demikian, Purbaya belum merinci lebih lanjut besaran pelebaran shortfall penerimaan pajak tersebut. Menurutnya, angka tersebut masih bersifat dinamis karena masih terdapat setoran penerimaan pajak maupun nonpajak yang akan masuk dalam APBN.

“Saya belum tahu. Karena masih gerak. Yang jelas tahun depan akan berubah. Saya akan lihat betul pajak seperti apa. Saya akan hands on,” tegasnya.

Untuk menutup shortfall penerimaan pajak, Purbaya menyebut pemerintah masih menunggu sejumlah penerimaan lain, termasuk dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP), seperti hasil barang rampasan, cukai, hingga penerimaan lainnya.

“Karena angkanya bergerak terus nih. Kita masih tunggu yang masuk ke sini berapa. Ada beberapa tapi (sekitar) Rp 2 triliun – Rp 3 triliun dari barang yang dirampas itu, terus yang satuan (satgas) PKH itu, cukailah, PNBP. Untuk saya kan yang penting uangnya (penerimaan negara) cukup,” jelas Purbaya.

Di sisi lain, Purbaya menduga defisit APBN 2025 berpotensi melebar seiring dengan tekanan pada penerimaan pajak. Meski begitu, ia menegaskan pemerintah tetap berkomitmen menjaga defisit sesuai ketentuan undang-undang.

“Defisit berubah, mungkin akan lebih besar sedikit tapi saya tekan di bawah 3%. Jadi secara undang-undang masih aman. (Tapi) masih dihitung,” ujarnya.

Menurut Purbaya, tekanan terhadap APBN memang cukup besar. Namun, pemerintah akan terus menjaga defisit tetap berada pada level yang aman.

“Ini kan masih bergerak angkanya (penerimaan negara). Jadi kelihatannya tekanannya cukup besar. Tapi kita jaga di level yang aman. Tapi belum tahu akan melebar dari 2,78%,” pungkasnya.

Pemerintah memastikan akan terus memantau perkembangan penerimaan dan belanja negara hingga akhir tahun guna menjaga stabilitas fiskal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Tonton: Prabowo: KIta Tak Ragu Copot Pejabat Tak Kompeten, Tanpa Pandang Bulu dan Partai

APBN 2025 Perlu Penanganan Serius

GREAT Institute menilai kekhawatiran atas pelebaran shortfall pajak adalah hal yang wajar dan perlu ditangani serius. Namun pandangan yang terlalu hiperbolik berisiko mengaburkan substansi: yang menentukan kredibilitas APBN merupakan kualitas respons kebijakan yang disiplin, transparan, dan tidak kontraproduktif terhadap ekonomi.

Peneliti ekonomi GREAT Institute, Adrian Nalendra Perwira, menjelaskan bahwa pembacaan kinerja pajak tahun ini harus membedakan penurunan pajak neto karena pelemahan basis pajak saja, versus penurunan pajak neto akibat lonjakan restitusi. “Restitusi adalah hak wajib pajak ketika terjadi kelebihan bayar. Dari sisi dunia usaha, restitusi membantu arus kas. Namun dari sisi kas APBN, lonjakan restitusi membuat penerimaan pajak neto tampak lebih rendah pada tahun berjalan,” ujar Adrian.

Baca Juga: Kebijakan Upah Minimum Provinsi 2026: Apa Kata KSPN Tentang Indeks Alfa?

GREAT Institute mencatat bahwa restitusi pajak hingga Oktober 2025 dilaporkan mencapai Rp340,52 triliun (naik 36,4% dibandingkan periode Januari–Oktober 2024). Adrian menjelaskan bahwa sebagian lonjakan tersebut dipengaruhi oleh backlog restitusi yang sempat tertunda/terakumulasi pada periode kepemimpinan Menkeu Sri Mulyani, sehingga pembayarannya menumpuk pada 2025.

“Ini faktor timing yang penting dijelaskan ke publik. Menilai kinerja fiskal tanpa menyertakan dinamika restitusi berisiko menghasilkan kesimpulan yang tidak proporsional,” lanjut Adrian.

Realisasi keseimbangan primer hingga Oktober 2025 tercatat defisit Rp45 triliun, berbalik dari surplus Rp18 triliun pada bulan sebelumnya dan berbeda dengan surplus Rp97,3 triliun pada periode yang sama tahun lalu.

Perubahan ini menunjukkan ruang primer mulai tertekan seiring akselerasi belanja pada paruh akhir tahun dan dinamika penerimaan non-bunga. Namun, indikator ini perlu dibaca sebagai sinyal kewaspadaan alih-alih ketidaksinambungan fiskal.

Faktanya saat ini defisit APBN secara keseluruhan masih berada pada 2,02% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga koridor disiplin fiskal tetap terjaga.

“Fokus kebijakan ke depan adalah memastikan tekanan primer bersifat sementara melalui penguatan kepatuhan dan pengawasan berbasis risiko, pengendalian belanja yang tidak produktif, serta manajemen kas yang prudent agar konsolidasi fiskal tetap on track,” tukas Adrian.

GREAT Institute menilai fundamental APBN 2025 tetap terkendali, kendati tekanan penerimaan jangka pendek memerlukan mitigasi serius. 

Oleh karena itu, fokus kebijakan di sisa tahun harus diarahkan pada intensifikasi berbasis data, percepatan integrasi data lintas instansi, serta merapikan tata kelola restitusi agar tidak menumpuk dan mengganggu pembacaan penerimaan neto. Di sisi belanja, kualitas dan efisiensi harus tetap terjaga. “APBN kita tidak sedang berada di ‘tubir jurang’; yang dibutuhkan saat ini adalah kepastian arah kebijakan dan kerja teknokratis yang tenang namun terukur," tutup Adrian.

Jaksa Sebut Nadiem Perkaya Diri Rp 809 Miliar dari Korupsi Chromebook

.

.

.

Selanjutnya: ManageEngine Perluas CloudSpend untuk Garap Pasar MSP dan Perusahaan Multi-Tenant

Menarik Dibaca: Infinix XPad Mengusung Kapasitas Baterai 7000 mAh buat Game, Cuma Rp 1 Jutaan Saja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×