Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Seribu jalan ditempuh pemerintah untuk mendongkrak penerimaan negara dari ekspor komoditas. Terbaru, pemerintah mengubah penghitungan penerimaan bea keluar minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya.
Perubahan itu ada di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 136/PMK.010/2015 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Dengan aturan ini maka pemerintah mengubah penghitungan bea keluar CPO menjadi berbasis volume metrik ton. Sebelumnya, dalam PMK 75/PMK.011/2012, penghitungan berdasarkan persentase harga ekspor.
Dengan perubahan ini, tarif bea keluar CPO pun berubah. Jika sebelumnya, tarif bea keluar CPO 7,5% untuk harga referensi lebih dari US$ 750 hingga US$ 800 per ton, dan 22,5% untuk harga referensi lebih dari US$ 1.250 per ton. Kini menjadi: US$ 3 per metrik ton untuk harga CPO lebih dari US$ 750 per ton hingga US$ 800 per ton. Sementara itu tarif tertinggi untuk harga CPO di atas US$ 1.250 per ton adalah sebesar US$ 200 per metrik ton.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Suahasil Nazara beralasan, perubahan ini untuk memudahkan penghitungan. "Nilainya bisa bulat. Lebih ada kepastian pengaliannya," ujarnya, Selasa (28/7).
Menurutnya, dengan penghitungan yang menggunakan volume metrik ton, tarif bea keluar yang harus dibayar eksportir tidak jauh berbeda dengan penghitungan persentase. Nilai bea keluarnya juga tetap dipatok berdasarkan kisaran harga tertentu. Lalu apakah perubahan ini akan meningkatkan pendapatan negara? Suahasil tidak mau menjelaskan lebih lanjut.
Yang pasti, selain mengubah basis perhitungan ekspor, pemerintah juga memperluas pengenaan pungutan ekspor komoditas kelapa sawit.
Jika sebelumnya bea keluar hanya untuk kelapa sawit, CPO dan produk turunannya, sekarang diperluas ke barang atau produk campuran dari produk kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya. Tarif yang dikenakan antara US$ 10 per ton-US$ 50 per ton.
Memberatkan
Perluasan bea keluar ini dilakukan untuk menghimpun penerimaan negara dari bea keluar yang sampai saat ini masih minim. Hingga 30 Juni saja, realisasi penerimaan bea keluar baru Rp 1,97 triliun atau 16,38% dari target. Suahasil berharap, minimnya realisasi bea keluar terkompensasi dengan pungutan ekspor kelapa sawit.
Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi memperkirakan, penerimaan bea keluar hingga akhir tahun bakal mengalami shortfall atau merosot hingga Rp 9 triliun. Di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015, target bea keluar adalah Rp 12,05 triliun. Dengan shortfall Rp 9 triliun, pendapatan dari bea keluar hanya Rp 3 triliun.
Minimnya penerimaan bea keluar disebabkan karena harga CPO masih berada di bawah US$ 750 per ton, sehingga penerimaan bea keluar nihil. "Harga CPO sekarang belum pernah sampai US$ 750 per metrik ton, sehingga kita tidak akan dapat apapun dari CPO," kata Heru.
Selain berharap dari aturan baru, pemerintah juga menghimpun penerimaan negara dari BLU CPO. Beroperasi sejak 16 Juli 2015, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit telah menghimpun dana hingga Rp 50,4 miliar. Dana ini masuk ke penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Ketua Advokasi dan Kebijakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Tungkot Sipayung bilang kebijakan baru pemerintah soal tarif pungutan dan bea keluar ini memberatkan pengusaha. Sebab itu, dia berharap ketika CPO menyentuh level referensinya yaitu US$ 750 per metrik ton, pemerintah menurunkan tarif bea keluar.
Sebab jika harga naik di atas US$ 750 per MT, pengusaha dikenakan dua pungutan sekaligus yaitu BLU CPO dan tarif bea keluar sawit. "Industri minyak sawit lesu maka ekonomi domestik melambat," papar Tungkot.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News