kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Penanganan Perubahan Iklim Butuh US$ 63,23 Miliar


Kamis, 01 April 2010 / 10:19 WIB
Penanganan Perubahan Iklim Butuh US$ 63,23 Miliar


Reporter: Christine Novita Nababan | Editor: Tri Adi

JAKARTA. Memulihkan lingkungan yang telah rusak ternyata membutuhkan dana besar. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan, untuk menanggulangi dampak perubahan iklim pada sembilan sektor, pemerintah perlu merogok kocek sedikitnya US$ 63,23 miliar.

Armida Ali Sjahbana, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, mengatakan, dampak perubahan iklim perlu diantisipasi sejak dini. Kalau tidak, bisa membahayakan pencapaian target pembangunan jangka panjang. "Upaya tersebut kami tuangkan dalam sembilan sektor yang telah dipetakan dan masuk dalam Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR)," katanya kemarin (31/3).

Kesembilan sektor dalam ICCSR, adalah bidang kehutanan, energi, industri, dan transportasi, limbah, pertanian, kelautan dan perikanan, sumber daya air, serta kesehatan. ICCSR didesain untuk menghadapi tantangan perubahan iklim hingga 2030 mendatang.

Armida menjelaskan, ruang lingkup materi ICCSR dikelompokkan menjadi dua, yakni langkah mitigasi dan adaptasi. Khusus untuk mitigasi, fokusnya tertuju pada sektor kehutanan dan lahan gambut, energi, industri, transportasi, dan limbah. Dengan total kebutuhan dana mencapai US$63,23 miliar.

"Konsep ICCSR ini bakal jadi acuan pemerintah dalam kegiatan mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim," tutur Armida.
Menurut Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Bappenas Umiyatun Triastuti, dari empat sektor tersebut di atas, bidang kehutanan berkontribusi terbesar pada penurunan emisi gas rumah kaca sampai 61%.

Dalam skenario ICCSR, sektor kehutanan dan lahan gambut dapat menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 300 metrik ton (Mt) karbondioksida (C02) per tahun. Dana yang diperlukan untuk itu sekitar US$ 630 juta per tahun selama sepuluh tahun.

Cara memangkas emisi rumah kaca adalah dengan menekan tingkat pembabatan hutan (deforestasi), seperti illegal logging dan pembakaran hutan, yang didukung oleh pengembangan kesatuan pengelolaan hutan.

Sementara langkah mitigasi perubahan iklim difokuskan pada penurunan ketergantungan bahan bakar berbasis fosil di sektor industri dan transportasi. Strateginya, adalah dengan menerapkan teknologi baru untuk menurunkan emisi di wilayah Jawa-Bali hingga 62,4 Mt CO2. Semua itu memerlukan dana sebesar US$ 2,1 miliar.

Di sektor industri, baru industri semen yang menjadi percobaan dengan menghemat penggunaan energi, proses, dan materi yang digunakan. "Skenario blendeb-cement menunjukan sekitar 15,67 Mt CO2 per tahun dapat diturunkan hingga 2030 nanti," ungkap Umiyatun.

Di sektor transportasi, upaya yang dilakukan, yaitu menekankan transportasi publik dan penggunaan mesin dengan karbon rendah. Sektor ini mampu mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 99.483 Mt CO2 dengan total kebutuhan dana US$ 58,46 miliar.

Armida menjelaskan, penanganan limbah yang baik juga diyakini dapat menurunkan emisi gas rumah kaca. Sedikitnya butuh dana US$ 2,04 miliar untuk menurunkan emisi 70,32 Mt CO2.

Mekanisme pendanaan perubahan iklim melalui Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) telah diluncurkan pada September 2009. Pemerintah RI mengharapkan dunia internasional ikut membiayai usulan kegiatan mitigasi maupun adaptasi lewat mekanisme ICCTF.

Sejauh ini, Armida menambahkan, baru ada komitmen dana sebesar US$ 3,5 juta dari Inggris. Duit ini rencananya akan digunakan untuk uji coba program Reduce Emission from Deforestation in Developing (REDD).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×