Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego mempertanyakan keyakinan Mahkamah Konstitusi bahwa Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang digelar serentak bisa menekan politik transaksional. Politik transaksional diyakini akan tetap terjadi meskipun pemilu digelar serentak pada pemilu 2019 dan seterusnya.
"Politik transaksional itu bukan masalah di pemilunya, tapi memang sebuah konsekuensi dari pelaksanaan multipartai. Jadi kalau pemilunya dibarengi, akan sama saja tetap bagi-bagi kekuasaan," ujar Indria saat dihubungi, Jumat (24/1).
Hal itu dikatakan Indria menyikapi pendapat MK dalam putusan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak.
Indria menjelaskan, dengan konsep multipartai ini, maka tidak akan ada partai politik yang memperoleh suara mayoritas. Dia mencontohkan, Partai Demokrat pada Pemilu 2009 mendapat suara mayoritas dan mampu mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden sendiri. Namun, tetap saja Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan koalisi dalam kabinetnya.
"Jadi koalisi ini bercabang. Meski dalam sistem presidensial, semua partai pasti akan meminta dukungan dan melakukan praktek bagi kekuasaan," ucap Indria.
Dia melanjutkan, alasan akan terbentuknya koalisi yang ideologis pun masih bisa diperdebatkan. Pasalnya, koalisi ideologis sejak dini tetap saja bisa gugur di kemudian hari.
Ia mengatakan, pelaksanaan pemilu serentak pada 2019 memang bisa mengikis koalisi pragmatis di putaran pertama. Namun, untuk mencari pemenang calon Presiden dengan suara 50 persen ditambah 1 persen, Indria berkeyakinan akan ada koalisi dan mengerucut pada dua kubu pemilik suara terbanyak.
"Akhirnya, tetap saja koalisi instan yang terjadi. Tidak ada bukti empiris pemilu serentak tekan politik transaksional," kata Indria.
Seperti diberitakan, Mahkamah Konstitusi berpendapat, pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pileg telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung UUD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilu yang dimaksud UUD 1945. Untuk itu, MK memutuskan pemilu dilaksanakan secara serentak yang dimulai pada 2019.
Dalam penyelenggaraan Pilpres 2004 dan 2009, menurut MK, ditemukan fakta politik bahwa calon Presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik untuk mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden. Tawar-menawar politik itu juga dilakukan agar mendapatkan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan ketika terpilih.
Akibat tawar-menawar itu, pandangan MK, sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari. Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang seperti karena persamaan garis perjuangan partai politik. (Sabrina Asril)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News