Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Proses kampanye pada pemilihan umum (pemilu) kali ini berbeda dengan pemilu sebelumnya. Capres dan cawapres atau bahkan calon anggota legislatif lebih banyak aktif melakukan kampanye di media sosial.
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai, sebenarnya pola kampanye yang mulai aktif dilakukan di sosial media sudah terjadi pada pemilu 2014 dan 2019. Ini berbanding terbalik dengan pola kampanye 10 tahun lalu yang kerap kali mengadakan kampanye dalam skala yang besar dan intensif.
Menurutnya, pola kampanye tahun ini lebih banyak dilakukan dengan menyediakan forum diskusi, dan dalam diskusi tersebut tidak mensyaratkan penonton menggunakan kaos atau atribut capres atau cawapres tertentu. Artinya, belanja untuk pembelian atribut kampanye juga minim.
“Sehingga ini menjadi wajar ketika diproyeksikan pilpres di tahun ini relatif lebih kecil dalam memberikan kontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) mengingat atribusi yang digunakan dalam kampanye juga terjadi penyesuaian dibandingkan dengan kampanye-kampanye yang lalu,” tutur Yusuf kepada Kontan.co.id, Rabu (10/1).
Baca Juga: Beberapa Indikator Ekonomi Turun di Tahun Politik, Kapan Kembali Pulih?
Di samping itu, Yusuf menilai, banyak juga atribut kampanye yang bahan bakunya tidak menggunakan bahan baku dalam negeri, tetapi diimpor langsung dari luar. Tentunya karena bahan baku impor jauh lebih murah.
Kata Yusuf, upaya pemerintah untuk melakukan penyesuaian kebijakan dengan memastikan alat kampanye menggunakan produk lokal tampaknya juga tidak terlalu berpengaruh signifikan.
“Nampaknya masalah harga dan daya saing produk akhirnya juga ikut berbicara terhadap kepentingan untuk melakukan impor dari luar negeri,” ujarnya.
Yusuf memperkirakan, perputaran uang dalam pemilu kali ini akan ada di kisaran Rp 50 triliun hingga Rp 70 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News