kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pemerintah sudah siapkan kebijakan perpajakan tahun 2021, apa saja?


Selasa, 15 September 2020 / 05:05 WIB
Pemerintah sudah siapkan kebijakan perpajakan tahun 2021, apa saja?


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerimaan perpajakan masih di tahun depan masih akan menghadapi tantangan lantaran ekonomi masih dalam proses pemulihan. Pemerintah sudah menyiapkan kebijakan perpajakan untuk menghadapi tantangan berat tersebut.

Berdasarkan Nota Keuangan Rancangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021, kebijakan optimalisasi dan reformasi perpajakan di tahun 2021 mencakup lima hal.

Pertama, pemajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Kedua, ekstensifikasi dan pengawasan berbasis individu dan kewilayahan. Ketiga, pemeriksaan, penagihan, dan penegakan hukum yang berbasis risiko dan berkeadilan.

Keempat, meneruskan reformasi perpajakan yang meliputi bidang organisasi, SDM, IT dan basis data, proses bisnis, serta peraturan pajak. Kelima, pengembangan fasilitas kepabeanan dan harmonisasi fasilitas fiskal lintas K/L.

Baca Juga: Mandiri Institute: Dampak PSBB Jakarta, ekonomi nasional bisa minus 2%

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan tahun depan penerimaan perpajakan akan lebih rendah hingga Rp 37,4 triliun dari yang sebelumnya ditargetkan dalam RAPBN 2021.

Adapun postur sementara penerimaan perpajakan tahun depan sebesar Rp 1.444,5 triliun. Angka tersebut lebih rendah 2,5% dari outlook RAPBN 2021 senilai Rp 1.481,9 triliun.

Secara rinci, penerimaan pajak pertambahan (PPh) minyak dan gas bumi (migas) naik Rp 4,6 triliun. PPh non-migas turun Rp 20,7 triliun. Pajak pertambahan nilai (PPN) turun Rp 27,5 triliun. Pajak lainnya naik Rp 1,5 triliun. Lalu, kepabeanan dan cukai naik Rp 1,5 triliun.

“Diakui dengan adanya perkembangan Covid terutama akhir-akhir ini kita melihat eskalasi ketidakpastian meningkat untuk tahun 2020 dan masih akan berlangsung di 2021. Sehingga kita memang patut waspada namun tidak kehilangan fokus untuk optimistis dalam menghadapi masalah,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja (raker) dengan Banggar DPR RI, Jumat (11/9).

Di sisi lain, Kemenkeu juga akan memberikaninsentif perpajakan yang selektif dan terukur. Antara lain berupa insentif perpajakan kepada sektor terdampak yang dapat mempercepat pemulihan ekonomi. Lalu, insentif perpajakan dalam rangka membantu cash flow wajib pajak (WP) badan dan penyediaan sarana dan prasarana kesehatan masyarakat.

Adapun, pagu dalam anggaran insentif pajak dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 sebesar Rp 20,4 triliun. Pagu tahun depan hanya 16,9% dari total alokasi insentif perpajakan di tahun 2020 sebesar Rp 120,61 triliun.

Anggaran tersebut akan dipergunakan untuk insentif pajak ditanggung pemerintah (DTP) dan pendahuluan restitusi atau pengembalian pajak pertambahan nilai (PPN).

Sementara itu, DJP juga melakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dengan pemberian insentif untuk kegiatan vokasi dan litbang untuk peningkatan kualitas SDM. Kemudian, penguatan sektor strategis dalam rangka transformasi ekonomimelalui Omnibus Law Perpajakan dan proses bisnis layanan yang user friendly berbasis IT. Lalu, penguatan klinik ekspor/klinik untuk percepatan investasi dan daya saing.

Baca Juga: Tahun depan, PNBP bertambah Rp 4,7 triliun dari target awal

Pengamat pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan, pemerintah perlu mengkaji lebih lanjut efektivitas dari insentif perpajakan dalam program PEN 2020, sehingga bisa tepat sasaran saat dilanjutkan di 2021.

Menurut Darusaalam, tidak dimasukannya insentif diskon angsuran PPh Pasal 25 bukan karena pemerintah mengabaikan tujuan utama menjamin ketersediaan cash flow perusahaan. Melainkan, dia menduga bahwa pemerintah akan memiliki skema lain.

“Skema lain yang memungkinkan relaksasi angsuran tersebut agar lebih mencerminkan kondisi penghasilan di masa krisis. Sekaligus nantinya mencegah terjadinya kondisi lebih bayar yang dialami oleh perusahaan,” kata Darussalam.

Oleh karena itu, instrumen yang bertujuan untuk mendorong daya beli serta ketersediaan arus kas rumah tangga tetap perlu dikedepankan. Kata Darussalam, hal ini bisa dilakukan melalui kebijakan non pajak seperti bantuan tunai, atau melalui insentif pajak seperti temporary PPN 0% untuk barang/jasa tertentu.

Selanjutnya: Dongkrak daya beli, Kemenperin usulkan pajak mobil baru 0%

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×