Reporter: Fahriyadi | Editor: Edy Can
JAKARTA. Pemerintah mengimbau petani tembakau tak perlu khawatir dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau karena tak ada pelarangan bagi petani untuk terus berproduksi. Meski begitu, pemerintah telah menyiapkan tanaman alternatif.
Menurut Menteri Pertanian, Suswono, petani tembakau juga tak perlu risau produksi tembakau tak akan terserap pasar. Selama ini, mayoritas kebutuhan tembakau nasional dipenuhi dari impor. "Nilai impor tembakau selalu lebih banyak ketimbang ekspor," jelasnya dalam jumpa pers Sosialisasi PP Produk Tembakau di kantor Kementerian Komunikasi dan Informasi, Jumat (11/1).
Menurut Suswono, pada periode Januari-Oktober 2012, nilai ekspor tembakau mencapai US$ 136 juta, nilai impornya US$ 588 juta. Angka ini berubah dari tahun 2011 yang nilai ekspornya US$ 147 juta dan impor US$ 507 juta. Dengan melihat data itu, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menyatakan, produk pertanian tembakau dalam negeri masih bisa terserap lebih optimal oleh perusahaan rokok lokal.
Meski begitu, Kementerian Pertanian (Kemtan) tetap menyiapkan antisipasi jika ada dampak penurunan produksi seiring peningkatan kesadaran masyarakat akan kesehatan. "Kami akan meningkatkan penyuluhan dan menawarkan alternatif komoditas selain tembakau," katanya.
Suswono menambahkan, beberapa sentra pertanian tembakau sudah melakukan tumpang sari, seperti di Jawa Tengah. Petani tembakau cukup berhasil menanam kopi di lahan tembakau.
Tapi, Suswono mengakui, tak mudah menggerakkan petani tembakau melakukan hal itu. Sebab, itu berarti mengubah budaya turun temurun. "Tembakau memang menguntungkan, tapi pemerintah mencoba menawarkan beberapa alternatif. Selain kopi, ada pula bunga krisan yang laris diekspor," tuturnya.
Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi menambahkan, penerapan PP mulai Juni 2014 tak mengganggu sepak terjang petani tembakau. "Dalam PP ini tidak ada satu poin pun yang mengatur soal petani tembakau. PP ini juga tidak melarang pertanian tembakau, justru mendorong pengembangan diversifikasi produk tembakau," ujarnya.
Esensi PP ini lebih pada aturan dan pengawasan peredaran produk olahan tembakau, seperti rokok, yang mengganggu kesehatan. Menurut Nafsiah, pendapatan negara dari cukai dan pajak tembakau hanya sekitar Rp 55 triliun per tahun. Tapi, kerugian yang diderita akibat merokok mencapai Rp 231 triliun, berupa gangguan kesehatan, polusi, dan lain-lain.
Nafsiah menganggap wajar beberapa pihak menolak aturan ini. Tapi, ia berharap masyarakat melihat aspek yang lebih luas dari sekedar dampak ke industri, yakni faktor kesehatan masyarakat. "Bagi mereka yang tidak puas, memang perlu ada pendekatan. Tapi, PP ini merupakan konsensus yang disepakati bersama beberapa pihak yang ikut berkepentingan," ujarnya. Karena itu, ia berharap pada satu waktu nanti, masyarakat paham manfaat dari PP ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News