Reporter: Ratih Waseso | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menuturkan, kebijakan perdagangan karbon di Indonesia bersifat terbuka.
Meski terbuka, namun Bahlil menegaskan bahwa pelaku perdagangan karbon harus teregistrasi.
"Tadi sudah diputuskan bahwa karbon di Indonesia sifatnya terbuka tapi harus teregistrasi, dan harus semuanya lewat mekanisme tata kelola perdagangan dalam bursa karbon di Indonesia itu lewat OJK. Nanti OJK yang akan mengatur," kata Bahlil dalam keterangan pers Menteri Investasi di Kanal YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (3/5).
Nantinya, mekanisme tata kelola perdagangan karbon di Indonesia berada di dalam bursa karbon yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Baca Juga: Tekan Emisi Karbon, Elnusa Lakukan Berbagai Langkah Green Action
Adapun untuk registrasi akan dilakukan melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ia mengatakan kebijakan mulai berlaku saat ini dan teknisnya ada di KLHK.
"Nanti registrasi semua di LHK. Tapi registrasinya sekali doang, sebelum masuk ke bursa karbon diregistrasi dulu di LHK setelah itu baru bisa melakukan perdagangan di bursa karbon, setelah itu bisa melalukan trading seperti trading saham biasa," kata Bahlil.
Selanjutnya Ia mengatakan, dalam rapat juga sepakati bahwa harga karbon di Indonesia tidak boleh dijual di pasar bursa lain.
"Kita ingin semua dijual di bursa-bursa Indonesia, dan harganya harus lebih baik," ujarnya.
Mengenai nilai investasi dari Bahlil mengatakan, cukup besar. Pihaknya kini sedang menghitung total akumulasi investasi. Bahlil melanjutkan, Indonesia sendiri memiliki cadangan penyimpanan untuk menangkap CO2.
"Ini di Indonesia cukup gede sekali, kita ngga mau negara dikapitalisasi negara lain apalagi negara tetangga. Jangan negara tetangga yang tidak punya penghasil karbon, tidak punya tempat CO2 tapi dia membuka bursa karbon itu, barang aset milik negara harus dikelola oleh negara, dan pendapatan untuk negara," jelasnya.
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa perdagangan karbon akan menggunakan sistem berbasis elektronik yang memudahkan dalam melakukan penelusuran.
"Perdagangannya nanti pakai elektronik, electronic trading system dan berbasis kepada teknologi yang tentunya bisa lakukan tracibility terhadap situasi karbon berasal dari hutan yang mana, industri mana, energi mana, jadi meskipun diperdagangkan berkali-kali itu asal usul dan tracibility nya tetap ada," kata Airlangga.
Baca Juga: Dukung Target Net Zero Emission Tahun 2060, Ini Strategi Pertamina
Indonesia memiliki target nationally determined contribution (NDC). Dimana ditargetkan NDC sebesar 29-41% pada tahun 2030 serta net zero emmision (NZE) atau nol emisi pada 2060.
Maka perdagangan karbon tersebut juga untuk mengukur kepatuhan Indonesia kepada NDC. Dalam rapat Airlangga mengungkapkan, juga mengangkat mengenai market maker.
"Agar Indonesia tidak di-corner negara-negara lain atau institusi besar. Maka penting kita harus membuat sebuah lembaga yang bisa jadi market maker, itu akan bekerja juga untuk menahan ataupun yang dibeli di pasar jadi tambah NDC Indonesia," kata Airlangga.
Airlangga menyebut, nantinya market maker bentuknya akan seperti Indonesia Investment Authority (INA) atau seperti BUMN.
"Market maker dipertimbangkan polanya Seperti INA atau BUMN," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News