kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pemerintah putar otak agar penerimaan pajak tahun depan naik 8%


Selasa, 13 Oktober 2020 / 10:20 WIB
Pemerintah putar otak agar penerimaan pajak tahun depan naik 8%


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi

Makanya mesti Kemenkeu berharap penerimaan pajak tahun depan bisa tumbuh 8%, tapi secara resmi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 pemerintah masih menargetkan penerimaan pajak tahun depan sebesar Rp 1.229,6 triliun, tumbuh hanya 2,5% dari target tahun ini yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72/2020 senilai Rp 1.198,8 triliun.

Potensi pajak digital

Di sisi lain, Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan potensi pajak digital di Indonesia relatif besar dibandingkan negara tetangga, terutama jika mengingat Indonesia sebagai negara pasar. 

Pengamat Pajak DDTC mencatat ada beberapa aspek yang dapat meningkatkan potensi pajak digital. Pertama, optimalisasi pajak pertambahan nilai (PPN). Menurutnya, selama ada penambahan pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPN serta adanya pengaturan mengenai skema sanksi, maka bisa lebih optimal.

Baca Juga: CITA prediksi penerimaan PPN Netflix, Spotify dan lainnya bisa capai Rp 2,1 triliun

Kedua, pajak penghasilan (PPh) perusahaan digital lintas yurisdiksi, ini sesuatu yang masih belum memiliki kepastian. Organization on Economics for Co-operation and Development (OECD) sendiri telah memiliki blueprint yang terdiri atas dua pilar, tapi membutuhkan konsensus bersama yang memiliki tantangan secara politis. 

Menurut Bawono, cetak biru OECD terutama pilar dua juga akan memberikan dampak penerimaan bagi negara berkembang dengan pasar besar seperti Indonesia. Sementara itu, Bawono mengimbau pengenaan Pajak Transaksi Elektronik (PTE) juga perlu dipertimbangkan oleh pemerintah.

“Di sisi lain, ide mengenai aksi unilateral melalui PTE adalah sesuatu yang bisa kita pertimbangkan sebagai skenario antisipatif,” kata Bawono kepada Kontan.co.id, Senin (12/10). 

Ketiga, selama informasi mengenai pihak serta nilai transaksi yang dilakukan dalam ekosistem digital Indonesia belum diketahui secara detail, maka kepatuhan pajaknya akan sulit dioptimalkan. 

Baca Juga: Pakar hukum: Kesimpangsiuran draf RUU Cipta Kerja akibat proses yang dipaksakan

“Selain informasi, juga dibutuhkan terobosan untuk menjadikan pihak digital platform sebagai pihak yang berperan dalam administrasi perpajakan Indonesia, baik dalam sosialisasi, identifikasi dan pengumpul data, hingga pihak pemotong/pemungut pajak,” ujar Bawono.

Setali tiga uang, perluasan basis pajak digital diperkirakan dapat menambah pundi-pundi penerimaan pajak tahun depan, dengan catatan pos penerimaan jenis pajak lain tumbuh karena pemulihan aktivitas ekonomi.

Selanjutnya: Dirjen Pajak: Titip barang tidak dikenakan PPN di awal

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×