Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
Keempat, perbaikan mekanisme evaluasi raperda dan pengawasan perda. Evaluasi raperda dilakukan tidak hanya untuk menguji kesesuaian raperda dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tapi juga menguji kesesuaian dengan kebijakan fiskal nasional.
Dari sisi perda, jika sebelumnya hanya dievaluasi oleh Menteri Dalam Negara (Mendagri) maka melalui RPP PDRD, Menteri Keuangan (Menkeu) ikut melakukan pengawasan atas perda dan peraturan pelaksananya. Apabila perda dan peraturan pelaksananya tidak sesuai dengan RPP PDRD maka, Menkeu dan Mendagri meminta kepada Kepala Daerah untuk melakukan perubahan.
Ferry mengatakan kebijakan baru tersebut tidak dipungkiri akan menganggu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Terlebih, misalnya pempus meminta penyesuaian tarif atau pembebasan untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Baca Juga: Ini persiapan bank BUMN jalankan spesifikasi sektor sesuai arahan Kementerian BUMN
“Nah, untuk memitigasi dampak fiskal daerah lebih jauh, kalau ada shortfall signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) karena penyesuaian tarif, di RPP ada support mekanisme APBN melalui Dana Alokasi Umum (DAU) atau lebih spesifik Dana Insentif Daerah (DID), atau bisa juga bentuk yang lain,” ujar Ferry.
Kelima, RPP tentang PDRD pun akan mengatur sanksi untuk pemda yang melanggar ketenuan, yakni penundaan atau pemotongan DAU atau dana bagi hasil (DBH) sekitar 10%-15%.
Kata Ferry, RPP PDRD saat ini sudah siap, tingga menggu prosis harmonisasi paling lama pekan depan. Kemudian, dibawa ke Presiden RI Joko Wododo untuk meminta persetujuan akan bisa segera di implementasikan di awal 2021.
Selanjutnya: Ini persiapan bank BUMN jalankan spesifikasi sektor sesuai arahan Kementerian BUMN
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News