Reporter: Uji Agung Santosa | Editor: Edy Can
JAKARTA. Pemerintah rupanya paling pelit berbelanja tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan per 7 Desember 2011, belanja untuk ketiga hal tersebut dibawah rata-rata belanja modal pemerintah yang sebesar 51%.
Rasio belanja tanah misalnya, hanya 31,8% atau sekitar Rp 1,64%. Sedangkan, rasio belanja peralatan dan mesin misalnya hanya sebesar 43,7% atau sebesar Rp 21,03 triliun dan belanja gedung dan bangunan sebesar 46% atau sebesar Rp 12,19 triliun.
Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan Agus Suprijanto mengatakan, realisasi belanja yang terbesar masih dipegang untuk belanja pegawai yang mencapai 92% atau sebesar Rp 168,36 triliun. “Tanah menjadi kendala dengan penyerapan yang paling rendah. Sedangkan untuk bangunan dan gedung, memang kebijakannya mengurangi pembangunan gedung baru,” katanya dalam diskusi Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni) MPKP, Rabu (14/12).
Agus mengakui presentase penyerapan belanja modal 2011 memang lebih rendah disbanding 2010. Namun jika dilihat secara nominal angka penyerapannya tidak terlalu berbeda. “Karena tahun ini belanja modalnya sangat besar mencapai Rp 165 triliun,” katanya. Pada periode yang sama 2010, penyerapan belanja modal mencapai 81,17% atau sebesar Rp 79 triliun.
Ia mengatakan, penyerapan belanja modal disebabkan oleh permasalahan struktural, institusional dan kultural. Untuk masalah struktural, dia mencontohkan, antara lain ketentuan pelaksanaan anggaran hanya dalam satu tahun dan tidak bisa carry over, pembebasan lahan yang menjadi prasyarat kegiatan multy years, pembatasan nilai pagu penunjukan langsung sebesar Rp 100 juta dan transisi regulasi pengadaan barang dan jasa dari Keputuran Presiden Nomor 80 Tahun 2003 menjadi Peraturan Presiden 54 Tahun 2010.
Permasalah institusional, Agus mencontohkan, keterlambatan penunjukan pejabat perbendaharaan di setiap awal tahun, adanya persyaratan sertifikasi pejabat pengadaan, belum terbentuknya unit pengadaan barang dan jasa di sebagian besar kementerian dan lembaga (K/L) dan pemda, buruknya perencanaan program dan kegiatan sehingga DIPA harus direvisi berkali-kali, termasuk belum semua K/L dan pemda melakukan lelang lebih awal.
Sedangkan permasalah kultural yang menghambat adalah pejabat pengelola perbendaharaan yang cenderung bersikap hati-hati dan tidak berani ambil resiko, insentif untuk pejabat pengelola perbendaharaan yang sangat kurang dibandingkan resikonya. “Banyak juga kegiatan atau proyek yang sudah selesai tapi penagihan baru diajukan kuartal IV,” katanya. Selain itu adanya kesulitan satuan kerja menyusun dokumen pelelangan dan kurangnya pemahaman terhadap Perpres 54 tahun 2010.
Menurut Agus, seharusnya keberhasilan belanja modal jangan dilihat dari besarnya anggaran yang terserap namun lebih kepada esensinya yaitu capaian kinerja dan output. “Ada misleading. Bohong saja kalau uang yang terserap banyak tapi apa yang dicapai tidak jelas,” katanya. Oleh karena itu, pemerintah ke depan akan lebih memonitor capaian output.
Berbagai permasalahan itu dibenarkan oleh Direktur Bina Program, Direktur Jendral Cipta Karya Kemen PU, Antonius Budiono. Ia mengatakan, sampai 14 Desember 2011 kemarin, Cipta Karya sudah berhasil menyerap 77,54% anggaran belanja APBN 2011 yang mencapai Rp 13,5 triliun. Nilai penyerapan tersebut lebih besar disbanding rata-rata Kementerian Pekerjaan Umum pada periode sama yang sebesar 74,30%. “Kami sudah melakukan berbagai percepatan, termasuk melakukan lelang sebelum tahun anggaran dimulai pada November,” katanya.
Antonius menerangkan, permasalahan yang menjadikan keterlambatan penyerapan anggaran belanja itu antara lain, keterlambatan usulan pejabat inti satker daerah, penyesuaian aturan lelang dalam Perpres 54/2010, tidak siapnya lahan oleh daerah, dan adanya dana pinjaman yang tidak disetujui donor.
Selain itu, permasalahan lainnya adalah adanya paket-paket yang mengalami gagal lelang, tender ulang, serta proses sanggah banding yang berkali-kali. Termasuk juga terlambatnya pelelangan dan pelaksanaan paket-paket dalam APBN-P yang biasanya efektif pada November 2011. “Untuk mempercepat penyerapan, kami telah menunjuk pejabat inti satker untuk masa kerja 3 tahun, juga melakukan monitoring mulai Maret kepada daerah dalam penyediaan lahan,” ujar Antonius.
Di tempat yang sama, Walikota Cimahi, Jawa Barat, Itoc Tochija mengatakan, di tingkat daerah keterlambatan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sering menjadi sumber rendahnya realisasi anggaran. Ia mengungkapkan, realisasi anggaran di Kota Cimahi cenderung konstan pada kisaran 80% sampai 90% selama kurun waktu 2007 sampai 2011 ini. “Ada rentang keterlambatan penetapan APBD selama 25-105 hari,” katanya.
Keterlambatan ini menurutnya, akan langsung maupun tidak langsung mengganggu pelayanan public dan berdampak pada kualitas kegiatan yang dilakukan. Itoc mengatakan, biasanya penyerapan anggaran para triwulan I dan II di bawah ideal, setelah itu meningkat pada triwulan III dan melonjak tajam pada triwulan IV, khususnya November dan Desember. “Keterlambatan penyerapan muncul karena keraguan pengelolaan kegiatan akibat kerancuan regulasi dari pusat dalam pengadaan barang dan jasa,” ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News