kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   -13.000   -0,85%
  • USD/IDR 16.200   -20,00   -0,12%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Pemerintah: Pajak royalti tinggi, masyarakat pilih jadi youtuber ketimbang peneliti


Kamis, 14 Maret 2019 / 21:46 WIB
Pemerintah: Pajak royalti tinggi, masyarakat pilih jadi youtuber ketimbang peneliti


Reporter: Benedicta Prima | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mengakui bahwa lingkungan di Indonesia masih belum dapat mendorong geliat tumbuhnya penelitian. Direktur Peraturan Perpajakan II Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Yunirwansyah pun memberi gambaran dari 1000 penduduk, hanya 98 yang menjadi peneliti.

"Jadi peneliti bukan profesi yang menjanjikan di Indonesia. Orang lebih cenderung menjadi youtuber, cenderung jadi foto model," jelas Yunirwansyah di Kantor Pusat DJP dalam paparannya di Seminar Nasional Perpajakan, Kamis (14/3).

Berdasarkan data UNESCO, biaya yang dikeluarkan untuk penelitian masih 0,1% dari produk domestik bruto (PDB). Secara rinci, dari sektor bisnis mengeluarkan biaya untuk penelitian US$ 547 juta, pemerintah US$ 839 juta sedangkan universitas US$ 744 juta. 

Biaya ini termasuk kecil bila dibandingkan dengan Jepang yang mencapai 3,4% dari PDB, dan Jerman yang mencapai 2,9% dari PDB. Bahkan Korea Selatan mencapai 3,4% dari PDB. Sedangkan untuk wilayah ASEAN, Singapura dan Malaysia masing-masing mencapai 1,3% dan 2,2%.

"Sehingga banyak anak-anak kita yang direkrut di Singapura karena dananya besar," ujar Yunirwansyah.

Sedangkan dari sisi pajak, perusahaan dalam negeri cukup banyak membayarkan biaya royalti ke luar negeri untuk profesi peneliti. Sesuai dengan aturan mengenai Pajak Penghasil (PPh) Pasal 23 atau 26, royalti untuk peneliti dikisaran 2-15%.

Adapun data tahun 2016 menunjukkan 8.500 perusahaan membayar Rp 44,12 triliun, sedangkan tahun 2017 tercatat Rp 46,78 triliun. Dan untuk tahun 2018 baru sebesar Rp 103 miliar. 

Atas pembayaran tersebut berdasarkan PPh 23 mendapat penerimaan pajak masing-masing tahun Rp 1,12 triliun (2016), Rp 1,24 triliun (2017), dan Rp 1,44 triliun (2018). Sedangkan berdasar PPh 26 pendapatan pajak Rp 5,8 triliun (2016), Rp 6,41 triliun (2017) dan Rp 7,13 triliun (2018).

Untuk itu, pemerintah melalui DJP Kemkeu tengah menggodog beleid baru berupa penguragan pajak bagi perusahaan swasta yang memiliki anggaran penelitian alias reseaarch and development (R&D). Beleid ini lantas dikenal dengan super deductible tax.

Sekedar informasi, fasilitas super deductible tax merupakan penambahan faktor pengurangan PPh di atas 100%. Sehingga pajak yang dibayarkan badan usah semakin kecil. Sejauh ini skema keringanan pajak hingga 200%.

Simulasi pemberian insentif pajak ini, apabila perusahaan memiliki nilai investasi dalam penelitian mencapai Rp 1 miliar, pemerintah akan memberikan pengurangan terhadap penghasilan kena pajak Rp 3 miliar selama lima tahun kepada perusahaan tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×