Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tak bisa berharap banyak pada pertumbuhan ekonomi tahun ini dan tahun depan. Sebab, jika ibaratnya ekonomi adalah kolam yang memiliki dua keran, keran pertama yakni likuiditas dari sisi moneter yang sudah tertutup dengan ketatnya stance moneter Bank Indonesia (BI).
Meski demikian, pemerintah masih berharap bahwa perbankan tidak akan langsung merespon kenaikan suku bunga acuan BI yang pekan lalu dinaikkan sebesar 50 bps lagi. Bila ini terjadi, pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi 2018 masih mungkin untuk sesuai dengan target 5,2%.
“Kami lihat kemarin BI naikkan suku bunga, kemudian komentar-komentar dari beberapa bank, kayaknya belum akan serta merta naikkan suku bunganya,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara di Gedung DPR RI, Senin (2/7).
Ia melanjutkan, langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah saat kebijakan moneter ketat seperti ini adalah menjaga pelaksanaan APBN. Diharapkan, hal ini memberi kontribusi kepada minat investasi, ekspor, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi.
Di luar itu, pemerintah berupaya mendorong minat investasi dengan reformasi kebijakan di sektor riil. Pekan ini, pemerintah akan meluncurkan online single submission yang diharapkan bisa menjadi daya tarik bagi dunia usaha. “Jadi kuncinya adalah reformasi kebijakan,” kata dia.
Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Adrian Panggabean mengatakan, pertumbuhan ekonomi paling maksimal bisa tumbuh 5,1% pada tahun ini. Sebab, kenaikan suku bunga yang terjadi cukup drastis, yakni sepanjang tahun ini sudah 100 bps, bakal membuat pertumbuhan kredit rendah dan IPO yang akan sepi sehingga ekspansi bisnis lewat pasar modal dan perbankan di semester II akan lebih rendah ketimbang apabila suku bunga acuan hanya naik sebanyak 50 bps sepanjang tahun ini.
Dari sisi konsumsi rumah tangga, yang sebelumnya ia perkirakan bisa tumbuh 4,97%, diperkirakan akan lebih rendah dari itu dengan naiknya suku bunga yang begitu tajam. Faktor lainnya dari menurunnya konsumsi rumah tangga adalah harga barang-barang terkait impor yang kena imbas dari nilai tukar rupiah yang merosot.
“Dengan berbagai dinamika itu, prospek bisnis akan turun sehingga penerimaan pajak juga akan turun. Oleh karena itu, efek injeksi dari pengeluaran pemerintah ke ekonomi juga akan turun,” kata Adrian kepada Kontan.co.id, Minggu (1/7).
“Inilah yang membuat keran kedua, yakni likuiditas dari sisi fiskal juga tertutup. Keran fiskal tidak bisa dibuka karena airnya tidak ada. Bila supply air kurang, maka ikan di kolam akan menggelepar. Artinya, confidence akan turun,” lanjutnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News