kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,31   14,00   1.54%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah kurang sigap menghadapi perang dagang


Sabtu, 29 Desember 2018 / 20:28 WIB
Pemerintah kurang sigap menghadapi perang dagang
ILUSTRASI. Ekspor Nonmigas


Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini diperkirakan hanya mampu tumbuh 5,1%–5,2%, naik tipis dibanding 2017 yang tumbuh 5,07%. Meski ekonomi masih tumbuh, namun pergerakan roda ekonomi tahun ini terasa berat dan mengkhawatirkan. Ini tampak dari melemahnya sejumlah indikator, antara lain:

Pertama, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) sempat karam ke level terendah sejak krisis moneter 1998, yakni ke posisi Rp 15.253 pada 11 Oktober 2018. Untunglah, mendekati tutup tahun ini, rupiah kembali menguat ke kisaran Rp 14.500 per dollar AS.

Kedua, cadangan devisa terkuras dari posisi tertinggi sepanjang sejarah US$ 131,98 miliar (Januari 2018) tinggal tinggal US$ 114,85 pada September 2018, lalu naik lagi menjadi US$ 117,21 pada November lalu.

Ketiga, dana asing di pasar saham dan obligasi terus menyusut. Banyak investor asing menarik dananya untuk ditempatkan di negara-negara maju seiring naiknya suku bunga acuan AS.

Keempat, kinerja ekspor lesu, sementara impor naik. Akibatnya, defisit neraca dagang membengkak (lihat tabel). Pada saat yang sama, Indonesia juga mengalami defisit transaksi berjalan.

Berbagai kondisi buruk itu terjadi salah satunya lantaran pemerintah kurang sigap mengantisipasi berbagai perkembangan di pasar global. Mulai dari perang dagang AS vs China, pelambatan ekonomi China, hingga percepatan pemulihan ekonomi AS.

Sepanjang 2018 pemerintah memang tak banyak mengeluarkan gebrakan di bidang ekonomi. Jika tahun-tahun sebelumnya pemerintah gencar mengeluarkan paket kebijakan (Paket 1–Paket 15), tahun ini hanya keluar satu paket kebijakan, yakni Paket ke-16.

Paket kebijakan terakhir itupun baru keluar mendekati akhir tahun, yakni 16 November 2018. Isinya, antara lain pemberian tax holiday, relaksasi Daftar Negatif Investasi (SNI), dan pengaturan devisa hasil ekspor untuk sumber daya alam (SDA).

Pemberian tax holiday ini pun sebenarnya hanya penyempurnaan dari aturan sebelumnya. Pada Maret 2018, Menteri Keuangan melonggarkan pemberian insentif pajak penghasilan badan melalui PMK 35/2018. PMK itu memperluas pemberian tax holiday dari lima industri pioner jadi 17 bidang usaha. Syaratnya dipermudah dari minimal investasi Rp 1 triliun menjadi Rp 500 miliar. Sedangkan dalam Paket 16, pemerintah memberikan mini tax holiday, yakni insentif pajak bagi investasi Rp 100 miliar ke atas.

Setelah PMK 35/2018, pemerintah juga meluncurkan layanan perizinan terintegrasi secara elektronik. Kebijakan itu tertuang di Peraturan Pemerintah (PP) 24/2018. Ini satu-satunya PP di bidang perekonomian yang keluar tahun 2018.

Sayangnya, bauran kebijakan pemerintah tersebut tidak berefek signifikan. Buktinya, selain melemahnya beberapa indikator makro di atas, berbagai skema kebijakan fiskal pemerintah tak dibarengi dengan peningkatan realisasi investasi.

Selama kuartal-III 2018, realisasi investasi turun 1,6% year on year (yoy) menjadi Rp 173,8 triliun. Dari realisasi tersebut, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi penanaman modal asing (PMA) Rp 89,1 triliun, turun 20% dibanding periode sama 2017.

Lantas, adakah hal positif yang dicapai pemerintah? "Mungkin, prestasi pemerintah tahun ini adalah pencapaian target penerimaan negara di APBN, tapi hal itu bukan dikontribusi oleh bauran kebijakan fiskal pemerintah," ujar Juniman, Kepala Ekonom Maybank.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede menganalisa, membaiknya kinerja penerimaan tahun ini lebih karena harga minyak yang membumbung tinggi. Itu menyebabkan penerimaan migas melonjak. "Penerimaan pajak dari sektor migas, maupun PNBP pun tumbuh di atas ekspektasi," ujarnya.

Josua menilai, dorongan stimulus fiskal tahun ini kurang. "Ini jangan terulang tahun depan, karena ekonomi kita masih mengandalkan komoditas. Kalau harga komoditas turun, konsumsi di daerah penghasil akan terpengaruh. Stimulus fiskal harus didorong sejak awal untuk antisipasi," sarannya.

Senada, Juniman meminta pemerintah memonitor efektivitas kebijakan fiskalnya, misalnya terkait insentif PPh Final UMKM 0,5%. "Apakah industri meningkat dengan adanya insentif ini? Jangan sampai pendapatan pemerintah berkurang, tapi industrinya juga tidak ikut tumbuh," tandasnya.

Dari sisi belanja, menurut Tim Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dalam Proyeksi Ekonomi Indonesia 2019, secara keseluruhan realisasi belanja pemerintah pusat tahun ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, Indef menggarisbawahi, alokasi belanja pemerintah itu masih didominasi belanja pegawai, bantuan sosial, dan subsidi, ketimbang belanja barang dan belanja modal. "Pertumbuhan belanja sosial dan subsidi ini meningkat untuk membantu mempertahankan daya beli masyarakat," ujar Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Indef.

Per akhir November 2018, belanja modal dan barang pemerintah mencapai 62,9% dan 77,8% dari pagu APBN 2018. Sementara belanja pegawai, subsidi, dan bantuan sosial mencapai 86,2%, 116,9%, dan 90,3% dari anggaran. Juniman menaksir, belanja pemerintah di akhir 2018 secara keseluruhan akan mencapai 94%-95% dari pagu APBN.

Pemerintah kembali menggenjot alokasi belanja untuk perlindungan sosial dalam APBN 2019. Untuk tahun depan, pemerintah menambah anggaran belanja perlindungan sosial sebesar Rp 95,6 triliun menjadi Rp 387,3 triliun. Sementara anggaran pendidikan naik Rp 57,9 triliun menjadi Rp 492,5 triliun, anggaran kesehatan naik Rp 15,7 triliun menjadi Rp 123,1 trilun. Sementara anggaran infrastruktur hanya naik Rp 4,6 trilun menjadi Rp 415 triliun.

Juniman menilai, hal tersebut wajar sebagai upaya pemerintah memasang jaring pengaman perekonomian di tengah ketidakpastian global dan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.

Tapi, "Pemerintah sebaiknya mengkaji, apakah penambahan porsi belanja perlindungan sosial itu sejalan dengan manfaatnya. Ini untuk memastikan program pemerintah tepat sasaran," kata Juniman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×