Reporter: Andri Indradie, Silvana Maya Pratiwi , Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi
Rapor manajemen Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kurang memuaskan, meski sudah beroperasi sejak 1 Januari 2014 silam. Timboel Siregar, Kordinator Advokasi BPJS Watch, mengkritik lembaga pelaksana JKN ini. “Dewan pengawas masih berfungsi sebagai komisaris di sebuah perusahaan badan usaha milik negara (BUMN),” tegasnya, Kamis (12/11).
Dia juga menyoroti beberapa kinerja BPJS yang merah. Pertama, soal kepesertaan. Manajemen BPJS Kesehatan kurang optimal menggaet peserta pekerja penerima upah (PPU). Hingga kini baru 11,5 juta PPU yang belum menjadi peserta. Padahal, lanjut Timboel, tertulis di Peraturan Presiden (PP) 111/2013, pemberi kerja BUMN, usaha besar, menengah, dan usaha kecil wajib mendaftarkan pekerjanya paling lambat 1 Januari 2015. “Mereka malah adakan memorandum of understanding (MoU) dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan membuat perjanjian agar ketetapan itu molor menjadi 30 Juni 2015. Banyak perusahaan berlindung di balik MoU tersebut,” tutur Timboel. Padahal jika semua menjadi peserta sesuai dengan rencana, kolektibilitasnya bisa membantu BPJS Kesehatan terhindar dari jebloknya neraca karena jumlah klaim lebih besar dari iuran.
Kedua, defisit keuangan di ujung tanduk. BPJS Kesehatan sempat dirundung defisit tahun ini mencapai Rp 5,85 triliun. Karena itulah, pemerintah menyuntikkan dana BPJS Kesehatan senilai Rp 1,54 triliun, diambil dari dana cadangan BUMN. “Bulan ini cair,” ujar Askolani, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan.
Bukan cuma itu catatan dari BPJS Watch. Timboel menilai, BPJS Kesehatan harus meningkatkan kerjasama dengan berbagai lembaga yang membuat pembayaran iuran lebih mudah, contohnya PT Pos Indonesia. Atau, menambah jumlah bank pemerintah saat ini dengan melibatkan bank-bank swasta. Sementara di sisi pengawasan juga perlu ditingkatkan karena banyak dijumpai rumahsakit nakal.
Timboel juga berharap, layanan kesehatan bukan hanya di tahap penyembuhan, tetapi juga layanan turunannya. Contohnya, penduduk miskin di gunung-gunung dan pedalaman yang rumahnya jauh dari puskesmas seharusnya mendapatkan biaya khusus untuk transportasi ke tempat lokasi.
Perihal kewajiban perusahaan untuk mengikutkan karyawannya sebagai peserta BPJS Kesehatan, menurut Ketua Apindo Hariyadi B. Sukamdani, kalau terjadi pelanggaran itu bukanlah kesengajaan untuk melanggar aturan untuk ikut jadi peserta BPJS Kesehatan. “Justru, sebenarnya, rencana awal kewajibannya itu pada 1 Januari 2017. Entah kenapa tiba-tiba muncul di Perpres 111/2013 itu jadi tanggal 1 Januari 2015,” tegasnya.
Apa pun rapornya, BPJS Kesehatan telah mengubah rakyat miskin berani berobat. Berbagai pihak harus mendukung, termasuk para peserta dengan tidak telat membayar iuran.
Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 08-XX, 2015
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News