kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah Harus Patuh Putusan MK untuk Tangguhkan Aturan Turunan UU Cipta Kerja


Selasa, 25 Januari 2022 / 20:44 WIB
Pemerintah Harus Patuh Putusan MK untuk Tangguhkan Aturan Turunan UU Cipta Kerja
ILUSTRASI. Gedung Mahkamah Konstitusi. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/nz.


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam salah satu amar putusan uji formil UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Amar putusan tersebut merupakan amar putusan butir 7 Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan pada 25 November 2021.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Prof Maria SW Sumardjono mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD 1945. Putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga wajib dipatuhi sebagai kewajiban moral dan hukum dari pemerintah.

“Kalau pemerintah tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang berhak menafsirkan tentang konstitusi, lalu kita melihat kemana?,” ujar Maria saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (25/1).

Baca Juga: MK Tolak Gugatan Uji Materiil UU Cipta Kerja dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia

Maria mencontohkan, Peraturan Presiden (Perpres) nomor 113 tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah. 
Seperti diketahui, Pemerintah mengundangkan Perpres tersebut pada 27 Desember 2021. Padahal, amar putusan MK mengenai uji formil UU Cipta Kerja langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan pada 25 November 2021.

Sifat mengikat putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak, akan tetapi juga bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sebab itu, semestinya Pemerintah mencabut Perpres nomor 113 tahun 2021 yang terindikasi melanggar amar putusan MK butir 7.

“Perpres itu (Perpres 113/2021) terbit tanggal 27 Desember 2021, setelah Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dan itu melanggar Amar Putusan butir 7,” ujar Maria.

Lebih lanjut Maria menilai, waktu dua tahun yang diberikan MK relatif singkat. Sebab itu, pemerintah perlu segera merancang perbaikan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan perbaikan substansi UU Cipta Kerja dengan melibatkan publik dalam seluruh tahapan dan prosesnya.

Maria mengingatkan, publik yang dimaksud adalah kelompok dan masyarakat yang terdampak aturan UU CK. Serta kelompok masyarakat yang punya perhatian terhadap UU yang tengah dirancang.

Dia menyebut, partisipasi publik mesti memenuhi tiga syarat. Yaitu hak publik untuk didengarkan, dipertimbangkan, dan diberi penjelasan/jawaban.

Dihubungi secara terpisah, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Himawan Arief Sugoto membenarkan telah diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) nomor 113 tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah yang diundangkan pada 27 Desember 2021.

Baca Juga: Kementerian ESDM Mencanangkan Omnibus Law Minerba dengan Menetapkan Sejumlah Kepmen

Himawan mengklaim, diterbitkannya Perpres tersebut tidak melanggar amar putusan MK terkait UU Cipta Kerja. Ia beralasan, Perpres 113/2021 merupakan bagian dari PP nomor 64 tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah. Adapun PP 64/2021 telah diterbitkan pada 29 April 2021.

“Bank Tanah sudah ada sejak PP 64/2021 tanggal 29 april 2021, dan Perpres sebagai instrumen dan bagian dari PP 64/2021,” kata Himawan.

Himawan mengatakan, saat ini pemerintah sedang menyusun SOP dan kewenangan pada organ Badan Bank Tanah. Ia menyebut, pengurus badan Bank Tanah untuk sementara sudah ditetapkan.

“Modal Bank Tanah di PP 64/2021 sebesar Rp 2,5 Triliun, namun tahun 2021 kemarin baru diberikan Rp 1 Triliun,” ucap Himawan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×