kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.060.000   18.000   0,88%
  • USD/IDR 16.445   2,00   0,01%
  • IDX 7.867   -18,52   -0,23%
  • KOMPAS100 1.102   -2,88   -0,26%
  • LQ45 800   1,11   0,14%
  • ISSI 269   -0,86   -0,32%
  • IDX30 415   0,50   0,12%
  • IDXHIDIV20 482   1,02   0,21%
  • IDX80 121   -0,09   -0,07%
  • IDXV30 132   -1,13   -0,85%
  • IDXQ30 134   0,17   0,13%

Pemerintah Hadapi Tantangan Meningkatkan Rasio Pajak di Tengah Kelesuan Ekonomi


Senin, 24 Maret 2025 / 05:19 WIB
Pemerintah Hadapi Tantangan Meningkatkan Rasio Pajak di Tengah Kelesuan Ekonomi
Sejumlah peserta wajib pajak menunggu antrean untuk melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak di Direktorat Jenderal Pajak (djp) Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Jumat (21/3/2025). Pemerintah menghadapi tantangan besar dalam upaya meningkatkan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB).


Reporter: Dendi Siswanto, Indra Khairuman | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pemerintah menghadapi tantangan besar dalam upaya meningkatkan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB). Kondisi perekonomian yang lesu menjadi salah satu faktor penghambat pencapaian target tersebut.

Dalam rapat yang digelar pada Kamis (20/3) pekan lalu, Presiden Prabowo Subianto meminta para menteri untuk berupaya keras meningkatkan rasio pajak dan rasio penerimaan negara secara keseluruhan. 

Prabowo awalnya menargetkan rasio penerimaan negara mencapai 23% dari PDB, namun realisasi target tersebut dinilai sulit tercapai.

Baca Juga: Prabowo Kumpulkan para Menteri Ekonomi di Istana, Bahas Penerimaan Pajak

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyebutkan bahwa pemerintah ingin tax ratio mencapai 18,5% dari PDB, sejalan dengan target rasio penerimaan negara sebesar 23% dari PDB. 

Namun, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, pemerintah hanya menargetkan rasio penerimaan negara pada kisaran 13,75% hingga 18% dari PDB, sementara tax ratio dipatok antara 11,52% hingga 15% dari PDB.

“Pemerintah sendiri tampaknya menyadari bahwa angka 18,5% tidak realistis, sehingga target maksimal yang dipasang hanya 15%,” ujar Wijayanto pada Jumat (21/3).

Wijayanto juga pesimistis terhadap target yang tercantum dalam RPJMN tersebut. Ia menilai, dengan penerimaan pajak pada dua bulan pertama tahun ini yang mengalami kontraksi hingga 30% secara tahunan, tax ratio tahun ini berpotensi turun di bawah angka tahun 2024 yang sebesar 10,22%. 

Baca Juga: Sri Mulyani Akui Lonjakan Restitusi Pajak Bikin Setoran Pajak Melempem di Awal Tahun

“Bahkan, sangat mungkin berada di bawah 10%,” tambahnya.

Untuk meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah perlu melakukan berbagai langkah strategis. Wijayanto menyarankan perbaikan administrasi pajak melalui sistem coretax, pemberantasan ekonomi bawah tanah (underground economy), serta perbaikan iklim bisnis agar lebih kondusif.

Senada dengan itu, pengamat ekonomi dari Universitas Andalas (Unand), Syafruddin Karimi, menekankan bahwa pemerintah harus bergerak cepat, cerdas, dan konsisten dalam mengejar target penerimaan negara. 

Salah satu strategi utama adalah memperluas basis pajak di sektor digital melalui integrasi data lintas lembaga, seperti Direktorat Jenderal Pajak, perbankan, BPJS, dan pemerintah daerah.

Selain itu, Syafruddin menyarankan agar pemerintah meninjau ulang berbagai insentif pajak yang dinilai kurang efektif. Menurutnya, belanja perpajakan yang tidak memberikan efek pengganda signifikan harus dikurangi dan dialihkan untuk memperkuat penerimaan struktural. 

Baca Juga: Optimalkan Penerimaan, Ditjen Pajak Bersiap Menindak 2.000 Wajib Pajak Nakal

Ia juga mengusulkan peningkatan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi dari kelompok berpenghasilan tinggi sebagai langkah yang moderat dan adil.

Terakhir, Syafruddin menegaskan bahwa membangun kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan menjadi kunci utama dalam meningkatkan penerimaan negara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×