Reporter: Handoyo | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Pemerintah tengah menggodok revisi tarif kapitasi, yakni pembayaran per bulan yang dibayar di muka untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dalam program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Indonesia Case Base Groups (Ina-CBGs). Penyesuaian tarif ini hingga kini belum final karena masih harus menunggu keputusan atas rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tentang kenaikan tarif iuran Jaminan Kesehatan (Jamkes).
Staf Ahli Menteri Kesehatan Donald Pardede mengatakan, meski pemerintah memiliki otoritas untuk menentukan tarif kapitasi, tapi penetapan tarif ini harus rasional dan diterima semua kalangan. "Besaran kenaikan tarif ini harus disimulasikan karena sangat kompleks dan didasarkan pada rencana penerimaan di 2016," katanya, baru-baru ini.
Menurut Donald, skema tarif kapitasi layanan kesehatan tak akan banyak berubah. Dalam aturan yang berlaku saat ini, standar tarif kapitasi di FKTP untuk puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara Rp 3.000 - Rp 6.000. Dan untuk rumah sakit kelas D pratama, klinik pratama, praktek dokter atau yang setara Rp 8.000 - Rp 10.000. Sedangkan praktek dokter gigi perorangan Rp 2.000. Kini, pemerintah tengah menghitung asumsi berdasarkan jumlah kepesertaan.
Sementara untuk Ina-CBGs akan ada tiga poin perbaikan. Pertama, rasionalisasi tarif. Sehingga tarif yang terlalu tinggi dan dimungkinkan turun bakal disesuaikan, begitu pula sebaliknya.
Kedua, pembedaan tarif Ina-CBGs antara Rumah Sakit (RS) pemerintah dengan RS swasta. Sebab, RS swasta keberatan dengan satu tarif Ina CBGs karena besarnya investasi yang telah dikeluarkan RS swasta sulit untuk ditutup dengan layanan ini. "Tarif antara RS Pemerintah dan RS Swasta akan disesuaikan, karena RS pemerintah mendapat subsidi sedangkan RS Swasta tidak," kata Donald.
Ketiga, perbaikan klasifikasi penyakit. Tujuan revisi penggolongan penyakit dalam Ina-CBGs agar besaran klaim merata. Selama ini klasifikasi penyakit di Ina-CBGs masih mengadopsi standar PBB.
Ketua terpilih PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M Faqih bilang, masih banyaknya RS yang belum ikut program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dipicu oleh perhitungan kapitasi pelayanan kesehatan dan Ina CBGs yang dirasa masih berat.
"Bila nanti tarif Ina-CBGs dan kapitasi dapat diterima RS swasta, maka otomatis akan banyak RS swasta yang bergabung. Alhasil, pelayanan lebih merata dan tidak menumpuk di satu tempat saja," kata Faqih.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News