CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Pemerintah dinilai terlalu memaksa penerapan new normal


Sabtu, 30 Mei 2020 / 13:07 WIB
Pemerintah dinilai terlalu memaksa penerapan new normal
ILUSTRASI. Barista membuat kopi di samping poster panduan aturan normal baru di Coffee shop KM Nol, Bencoolen Mal, Bengkulu, Jumat (29/5/2020).


Sumber: Kompas.com | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FHUI) menilai pemerintah terlalu memaksakan penerapan tatanan kenormalan baru atau new normal.

Ketua PSHTN FHUI, Mustafa Fakhri, mengatakan pemerintah tidak memiliki kebijakan yang jelas dalam penanganan dan pengendalian Covid-19. "Menurut saya ini bukan hanya prematur, tapi bayi new normal ini sama saja dengan bayi sungsang yang dipaksakan harus lahir," kata Fakhri kepada Kompas.com, Sabtu (30/5).

Dia menuturkan, hingga saat ini pemerintah belum mencabut peraturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang merujuk pada UU Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Selain itu, Keputusan Presiden Nomor 12/2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) juga masih berlaku.

"Sebelumnya kan ada PSBB yang berdasar pada UU Kekarantinaan Kesehatan. Lalu di-declare oleh presiden, Covid-19 sebagai bencana nasional nonalam," ucapnya.

Baca Juga: Simak aturan new normal untuk ASN yang dirilis Kemenpan-RB

"Kedua policy tersebut belum dicabut, sekonyong-konyong ada new normal," imbuh Fakhri. Menurut dia, kenormalan baru dapat disusun dan diterapkan pemerintah ketika tidak ada lagi penambahan kasus positif baru Covid-19.

Itu pun dengan catatan bahwa penerapan kelaziman baru harus dilakukan secara hati-hati. Ia kemudian mencontohkan kebijakan kenormalan baru di Korea Selatan yang melahirkan gelombang baru Covid-19. "Macam di Korsel, yang katanya sudah tidak ada kasus, tapi ketika diterapkan new normal, langsung ribuan yang harus isolasi mandiri dan beberapa korban baru positif Covid-19," kata Fakhri.

Baca Juga: Kasus corona Korea Selatan melonjak dari kluster gudang online shop

Fakhri mengakui bahwa sejumlah wilayah, seperti DKI Jakarta, mulai menunjukkan kurva kasus baru Covid-19 melandai. Namun, ia berpandangan masih terlalu dini untuk menganggap hal itu sebagai tanda untuk menerapkan kebijakan kelaziman baru. Sebab, penambahan kasus baru Covid-19 di DKI Jakarta masih terus ada.

Selain itu, masih banyak daerah lain yang membutuhkan perhatian dan penanganan yang serius. "Daerah luar Jakarta, macam Surabaya, masih mengkhawatirkan. Karena itu, pemerintah pusat seharusnya jauh lebih serius menangani perkara ini. Jangan buat policy yang saling bertabrakan satu sama lain," tegasnya.

New normal disiapkan di 4 provinsi



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×