Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Sekjen Opsi) Timboel Siregar meminta pemerintah mengkaji ulang substansi RPP tentang pengupahan ini. Pasalnya, pada pasal – pasal krusial mengenai formulasi perhitungan upah, justru berpotensi mengurangi persentase kenaikan upah minimum provinsi.
“Pengaturan RPP pengupahan relatif tidak memberikan azaz keadilan, bagaimana dikaji secara akademik, belum tepat,” ungkap Timboel kepada Kontan, Selasa (9/2).
Timboel menyayangkan formulasi perhitungan upah minimum provinsi yang berpotensi menurunkan persentase kenaikan upah minimum. Sebab, perhitungan yang awalnya hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi, ternyata ditambah lagi faktor – faktor lainnya yang justru berpotensi mengurangi kenaikan persentase tersebut.
Faktor lainnya yang masuk itu diantaranya rata – rata konsumsi perkapita, rata – rata banyaknya anggota rumah tangga, rata – rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja. Serta median upah yang didapat dari perhitungan batas atas dan batas bawah upah minimum. Hal ini terdapat dalam pasal 26 RPP pengupahan.
“Pasal 26 ini bagaimana upayanya bisa menekan (persentase kenaikan) upah minimum,” ujar dia.
Tidak hanya itu, upah minimum kabupaten/kota yang ada saat ini berpotensi menurun. Hal ini dimungkinkan karena upah minimum kabupaten/kota nantinya akan dilakukan penyesuaian. Namun perhitungan penyesuaian upah minimum kabupaten/kota berdasarkan nilai pertumbuhan ekonomi atau inflasi tingkat provinsi. Hal ini tercantum dalam pasal 34 RPP pengupahan.
Baca Juga: Kadin sambut formulasi perhitungan upah minimum dalam aturan turunan UU Cipta Kerja
“Penyesuaian upah minimum kabupaten/kota, tapi menggunakan tingkat inflasi provinsi atau pertumbuhan ekonomi provinsi. Ini kan tidak nyambung. Harusnya kan menggunakan kabupaten/kota yang bersangkutan. Pasal 34 memungkinkan upah minimum kabupaten/kota yang ada saat ini bisa turun,” jelas dia.
Timboel menilai, jika upah minimum turun maka menyebabkan konsumsi pekerja turun. Hal ini kontraproduktif dengan tujuan UU cipta kerja yang ingin mengerek pertumbuhan ekonomi nasional. Pasalnya tingkat konsumsi berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi nasional.
“Ini akhirnya membuat daya beli akan berkurang. Ini yang akan bermasalah kedepan dan ini akan menciptakan konflik. Ini harus dikaji lagi,” ujar dia.
Selain itu, Timboel juga menyoroti hilangnya komponen kebutuhan hidup layak dalam penetapan upah minimum. Padahal, Kemenaker sebelumnya telah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan nomor 18 tahun 2020 tentang kebutuhan hidup layak (KHL).
“Rezim KHL hilang di UU cipta kerja. Setelah lahirnya UU cipta kerja dalam RPP ini, KHL itu tidak diikutkan lagi,” tutur Timboel.
Direktur Pengupahan, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Ditjen PHI JSK), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Dinar Titus Jogaswitani mengatakan, formulasi perhitungan upah dalam RPP ini ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.
Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan yang dimaksud meliputi variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, median Upah. Serta pertumbuhan ekonomi atau inflasi tingkat provinsi.
Ia mengklaim, formulasi tersebut akan lebih menggambarkan kondisi riil upah setiap provinsi. “Iya (lebih menggambarkan kondisi riil upah setiap provinsi),” kata Dinar kepada Kontan, Selasa (9/2).
RPP tentang Pengupahan ini nantinya menggantikan aturan sebelumnya yakni PP nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Berbeda dengan PP 78/2015, penetapan upah minimum provinsi dalam RPP ini tidak berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL).
Dinar menyebut, formulasi upah minimum provinsi pada RPP ini pada dasarnya meneruskan formulasi upah minimum di aturan sebelumnya yang basisnya telah menggunakan KHL. Ia menyebut, upah minimum untuk pertama kali adalah upah minimum yag diatur dalam PP 78/2015.
“Ternyata dalam masa pandemi perusahaan banyak yang tidak mampu membayar. Sehingga perlu campur tangan pemerintah,” ucap Dinar.
Berikut isi pasal 25 RPP pengupahan:
- Upah minimum terdiri atas: a. Upah minimum provinsi; b. Upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
- Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.
- Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan.
- Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi variabel: a. paritas daya beli; b. tingkat penyerapan tenaga kerja; dan c. median Upah.
- Data pertumbuhan ekonomi, inflasi, paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median Upah bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
Kemudian, substansi Pasal 26 RPP pengupahan menyebutkan, rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, dan rata-rata banyaknya anggota rumah tangga bekerja pada setiap rumah tangga yang digunakan untuk menetapkan upah minimum provinsi menggunakan data di wilayah yang bersangkutan. Nilai pertumbuhan ekonomi atau inflasi yang digunakan dalam formula penyesuaian nilai Upah minimum merupakan nilai pertumbuhan ekonomi atau inflasi tingkat provinsi.
Baca Juga: RPP Pengupahan, Kemnaker: Ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan
Sementara itu, substansi Pasal 34 menyebutkan, penetapan Upah minimum bagi kabupaten/kota yang telah memiliki Upah minimum kabupaten/kota dilakukan dengan penyesuaian nilai Upah minimum.
Penyesuaian nilai Upah minimum kabupaten/kota dilakukan sesuai tahapan perhitungan upah Pasal 26. Pertumbuhan ekonomi atau inflasi yang digunakan dalam formula penyesuaian nilai Upah minimum kabupaten/kota merupakan nilai pertumbuhan ekonomi atau inflasi tingkat provinsi.
Selanjutnya: Catat! Libur panjang, hasil tes Covid-19 penumpang KA dan darat berlaku 1x24 jam
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News