Reporter: Fahriyadi | Editor: Amal Ihsan
JAKARTA. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) mendesak pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan harga lewat menaikan cukai rokok dengan harapan harga rokok menjadi tidak terjangkau.
"Harga rokok cenderung cukup terjangkau, kita perlu belajar dari negara maju yang menjual rokok dengan harga tinggi. Pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan harga rokok yang tinggi dan penurunan jumlah perokok. Sedangkan di Indonesia sebaliknya, pertumbuhan ekonomi Indonesia dibarengi dengan harga rokok yang cenderung stabil," ujar Kepala Lembaga Demografi FE UI, Sonny Harry B. Harmadi, Senin (10/6).
Sonny menilai keterjangkauan rokok di Indonesia ini telah membuka peluang banyak orang untuk merokok semakin besar, bahkan seperlima anak usia 15-19 tahun adalah perokok.
"Dengan uang jajan puluhan ribu rupiah, anak-anak ini bisa membeli rokok," katanya.
Lebih lanjut, Sonny mengatakan banyak kebijakan yang perlu ditempuh pemerintah, salah satu solusi yang paling mungkin adalah menaikkan cukai rokok yang tinggi, seperti di negara maju.
Peneliti Lembaga Demografi FE UI, Abdillah Ahsan mengatakan perlu ada keberanian dari pemerintah untuk menaikkan cukai ini.
Menurutnya pengenaan cukai rokok maksimal sebesar 57% sebagaimana yang tertera pada Undang-Undang No.39 tahun 2007 tentang Cukai perlu direvisi.
Menurutnya efek rokok bagi kesehatan sama besarnya dengan efek minuman beralkohol yang dikenakan cukai maksimal 80%. "Dari sini dapat terlihat bahwa pemerintah menganakemaskan industri rokok," ujarnya.
Lebih lanjut, Abdillah mengatakan untuk memangkas keterjangkauan publik terhadap rokok, ia menilai harga rokok Rp 50.000 per bungkus dan Rp 5.000 per batang.
Ia mengungkapkan dengan harga tersebut publik akan berpikir ulang untuk membeli rokok. "Ini bisa jadi pemicu orang berhenti merokok," tandasnya.
Abdillah bilang jika nantinya kebijakan ini bisa membuat banyak orang berhenti merokok, tapi dari sudut pandang dampak kesehatan nasional tidak bisa serta merta langsung menurun.
Ia bilang butuh jarak 20 tahun agar dampak kesehatan itu dirasakan, itu menurutnya menjadi alasan agar kebijakan ini segera dilakukan.
"Bonus demografi di tahun 2025 dan 2030 akan diperoleh Indonesia. Jika generasi muda Indonesia merokok, maka kita akan panen penyakit. Jangan sampai gara-gara rokok, bonus demografi gagal diperoleh Indonesia," paparnya.
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, pada tahun 2012 lalu Cukai rokok menyumbang sekitar Rp 90,55 triliun, sedangkan ditahun 2013 ini ditargetkan mencapai Rp 99 triliun.
Dari sisi produksi tahun ini ditargetkan produksi rokok mencapai 301 miliar batang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News