Reporter: Yudho Winarto |
JAKARTA. Gejolak ekonomi global telah menjadi alarm kondisi ekonomi nasional. Sebab itu, pemerintah bertekad memperkuat fundamental ekonomi dengan terus memperkecil rasio utang.
"Kita lakukan dengan memperbaiki debt to GDP rasio, misalnya tahun lalu kurang 25,5%. Sekarang sudah tepat dan kita terus turunkan tahun depan," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat membuka rapat kabinet di kantor Presiden, Senin (8/8).
Becermin dari kasus yang menimpa Amerika Serikat dan negara di kawasan Eropa. SBY melihat gejolak utang yang terjadi lantaran tidak kokohnya fundamental ekonomi mereka.
"Terbukti sekuat apa pun ekonomi negara, kalau defisit yang dialami sangat tinggi, rasio utang sangat tinggi, maka ekonomi tidak aman," katanya.
Untuk itu, pemerintah terus memperkuat fundamental ekonomi selain berusaha menurunkan rasio utang dan terus meningkat penerimaan negara, baik melalui pajak atau bukan pajak. "Dengan mengatur pembelanjaan yang tepat sehingga tidak perlu defisit," katanya.
Menghadapi gejolak ekonomi global saat ini, SBY menegaskan ingin kembali belajar dari pengalaman tahun 2008 lalu. Dengan terus memastikan APBN tetap dalam kondisi sehat.
"Utang itu di masa krisis sering menjadi solusi, tetapi kalau tidak kita perlukan maka tidak boleh masuk dalam budaya berutang," katanya.
Sebagai informasi Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan mencatat rasio utang per Mei lalu sebesar 25,5% atau turun 0,5% dari akhir tahun lalu.
Penurunan rasio utang ini akibat penguatan nilai tukar rupiah. Catatan saja, Bank Indonesia mencatat nilai tukar rupiah telah mencapai ke level Rp 8.546 per dollar Amerika Serikat dari akhir tahun Rp 8.900 per dollar Amerika Serikat.
Pemerintah telah menetapkan batas maksimal rasio utang sebesar 24% dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 sebesar 24%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News