kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.169   31,00   0,19%
  • IDX 7.055   71,46   1,02%
  • KOMPAS100 1.056   15,44   1,48%
  • LQ45 830   13,30   1,63%
  • ISSI 213   1,17   0,55%
  • IDX30 424   7,51   1,80%
  • IDXHIDIV20 510   8,12   1,62%
  • IDX80 120   1,73   1,46%
  • IDXV30 125   0,86   0,70%
  • IDXQ30 141   2,17   1,56%

Pembiayaan Belanja Pemerintah Berpotensi Semakin Mahal


Jumat, 19 Juli 2024 / 08:24 WIB
Pembiayaan Belanja Pemerintah Berpotensi Semakin Mahal
ILUSTRASI. Petugas menghitung mata uang asing dolar Amerika Serikat (US$) di konter jasa penukaran mata uang asing di Jakarta, Kamis (20/6/2024). Dalam setahun terakhir rupiah telah turun 9,33% terhadap USD, ketidakstabilan ekonomi global, kebijakan moneter Amerika Serikat yang ketat, dan ketidakpastian politik domestik menjadi faktor yang menyebabkan rupiah melemah terhadap US$. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/23/06/2024


Reporter: Adinda Ade Mustami, Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Biaya dana atau cosf of fund pemerintah dalam menerbitkan surat berharga negara (SBN) berpotensi kian mahal. Pasalnya, pengalihan dana perbankan dari SBN ke Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) berisiko membuat likuiditas kian ketat.

Sebelumya, pemerintah memperkirakan defisit anggaran tahun 2024 ini melebar ke level 2,7% dari produk domestik bruto (PDB), dari target 2,29% PDB. Untuk menutup pelebaran defisit tersebut, salah satunya diupayakan pemerintah melalui penerbitan SBN Rp 214,6 triliun.

Ekonom Senior Chatib Basri mengingatkan, likuiditas di pasar keuangan berpotensi semakin ketat karena sebagian terserap SRBI. Kondisi ini akan berdampak terhadap potensi kenaikan cost of fund penerbitan obligasi, termasuk obligasi pemerintah.

Baca Juga: Pemerintah Tarik Pinjaman Lebih Banyak, Ekonom: Mungkin untuk Jaga Imbal Hasil SBN

Menurut dia, pemilik dana akan mempertimbangkan instrumen yang lebih menguntungkan, baik SRBI, obligasi, termasuk obligasi pemerintah. "Itu juga akan menentukan yield dari government bond nantinya, sehingga cost of fund dalam pembiayaan APBN akan menjadi mahal," kata Chatib, Selasa (16/7).

Namun Head of Macroeconomic and Financial Market Research Bank Permata, Faisal Rachman melihat, risiko tarik-menarik dana (crowding out) rendah karena perbedaan tenor SRBI dan SBN.

"Kami melihat kebijakan SRBI tidak akan mengganggu pasar SBN, malah akan saling melengkapi dalam menjaga yield dan stabilitas rupiah," kata dia kepada KONTAN, Kamis (18/7).

Faisal mengatakan, lebih tingginya yield SRBI lantaran SBN merupakan underlying instrumen BI tersebut. "Dan ini adalah bentuk mekanisme kebijakan BI untuk menjaga inflow," tambah dia.

Sementara imbal hasil SBN yang berdampak terhadap beban bunga utang pemerintah lebih bergantung pada arah suku bunga dan risk premium yang mencakup ketidakpastian ekonomi global dan domestik.

Baca Juga: Kemenkeu Minta Tambahan Penggunaan SAL Rp 100 Triliun untuk Tambal Pelebaran Defisit

Faisal juga menyebut, bunga utang pemerintah saat ini dipengaruhi oleh pelemahan rupiah, meski tidak signifikan lantaran SBN didominasi domestik.

Chief Economist Bank Syariah Indonesia Banjaran Surya juga optimistis beban utang pemerintah tak terdampak. "Cicilannya (bunga utang) menyesuaikan yield curve saja. Saat ini yield differentiation bagus," tandas dia.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto melihat, imbal hasil SBN masih cukup terkendali di tengah situasi dinamika global. Menurut dia, hal tersebut lantaran pemerintah juga menjaga kredibilitas perekonomian dalam negeri.

"Kinerja perekonomian terjaga dengan baik, memberikan confidence kepada investor. Jadi kami tentu akan terus menjaga stabilitas pasar SBN dan pada level yield yang terkendali," ucap dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×