Sumber: Kompas.com | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Ratusan pekerja dari Jakarta International Container Terminal (JICT) mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka melaporkan dugaan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan izin konsesi JICT oleh PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II kepada Hutchison Port Holdings.
Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino diduga melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
"Selain itu, kami melihat perpanjangan ini juga tidak mengikuti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 yang sebenarnya menyatakan bahwa konsensi itu harus dilakukan dengan izin dari Kementerian Perhubungan dan otoritas pelabuhan," ujar Ketua Serikat Pekerja JICT Nova Sofyan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (22/9).
Nova mengatakan, dalam surat Dewan Komisaris Pelindo II Nomor 68/DK/PI.II/III-2015 tertanggal 23 Maret 2015, dinyatakan bahwa nilai wajar saham JICT sebesar US$ 858 juta.
Sehingga, kata dia, penjualan JICT kepada Hutchison sebesar US$ 215 juta seharusnya membuat Hutchison hanya mendapatkan perolehan saham sebesar 25%, bukan 49% seperti yang diusulkan oleh RJ Lino melalui konsultannya di Deutsch Bank selama ini.
"Jika dipaksakan, Hutchison memperoleh saham sebesar 49%, ada kerugian negara sebesar US$ 212 juta atau sekitar Rp 3 triliun," kata Nova.
Nova menyebutkan, Lino juga melanggar good corporate governance (GCG) Pelindo II dengan melakukan pembohongan publik soal tender terbuka. Menurut dia, iklan perpanjangan konsesi JICT tanggal 8-9 Agustus 2014 di beberapa media nasional menyebutkan bahwa perpanjangan konsesi JICT tidak melalui tender.
"Belakangan dia malah bilang pakai tender. Ini kan janggal, harus diteliti lebih lanjut apakah benar menggunakan tender atau tidak. Ini pernyataannya berbeda, ada inkonsistensi di situ," kata Nova.
Nova mempertanyakan sikap Lino yang menjual aset JICT ke Hutchison Port Holdings. Menurut dia, seharusnya Lino tidak menjual aset JICT ke pihak asing karena tidak memiliki tingkat urgensi yang tinggi setelah krisis ekonomi tahun 1999.
"Konsesi ini sendiri kan sudah ada sejak tahun 1999 karena emang pada waktu itu kan Indonesia dalam masalah krisis dan butuh uang. Waktu itu dijual dengan alasan pemerintah untuk membeli beras bagi rakyat. Nah pertanyaan kita, sekarang untuk apa dijual lagi aset kita? Urgensinya seperti apa?" ucapnya.
Sebelumnya, Dewan Komisaris Pelindo II sempat mempersoalkan angka penjualan JICT senilai US$ 215 juta. Berdasarkan data yang dimiliki Kompas.com, Dewan Komisaris Pelindo mengirimkan surat tanggal 23 Maret 2015. Dalam surat dengan Nomor 68/DK/PI.II/III-2015 itu, dewan komisaris meminta direksi melakukan negoisasi kembali dengan HPH.
Komisaris Pelindo II menyebutkan nilai wajar saham JICT ialah US$ 854 juta. Artinya, penjualan JICT sebesar US$ 215 juta tak setara share 49% saham, melainkan hanya 25,2%.
Angka yang diungkapkan Dewan Komisaris Pelindo II itu merupakan hasil kajian konsultan keuangan Financial Research Institut (FRI) terhadap proses valuasi JICT oleh Deutsche Bank.
Awalnya, Deutsche Bank mengungkapkan nilai wajar saham JICT US$ 639 juta. Namun, belakangan bank investasi Jerman ini merevisi menjadi US$ 833 juta. (Dylan Aprialdo Rachman)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News