Sumber: TribunNews.com | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Pembahasan Rancangan Undang Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) saat ini terindikasi dipenuhi syahwat monopoli. Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) diduga berebut memonopoli terkait produk halal.
Menanggapi hal tersebut, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak agar pembahasan RUU Jaminan Produk Halal dihentikan sementara waktu. Menyusul, materi pembahasannya dinilai penuh syahwat monopoli pihak-pihak tertentu. Hal demikian harus dibenahi.
"Perspektif RUU JPH yang saat ini dibahas jelas sekali rakus dan otoriter. Kalau diteruskan sama saja dengan zaman orde baru,” tegas Ketua PBNU, Maksum Machfoedz dalam rilis yang diterima Tribunnews.com di Jakarta, Selasa (4/3).
Menurut Maksum, pembenahan atas keseluruhan materi RUU JPH ini dimaksudkan agar perspektifnya baik untuk masyarakat dan tidak sarat kepentingan golongan atau pihak tertentu.
Ia menilai, semangat RUU JPH harus dikembalikan pada prinsip bahwa sertifikasi adalah urusan pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Urusan publik tentu bersifat partisipatif dan tidak monopolistik.
"Kalau Kemenag dan MUI rebutan monopoli, ya itu kemunduran bagi bangsa. Masa, hari gini masih monopoli?" katanya.
Hal yang tak kalah penting, RUU JPH harus bersifat inklusif dengan memberikan kesempatan kelompok muslim untuk melayani umatnya. "NU jamaahnya ada 70 juta orang. Kami tidak pernah menyerahkan mandat kepada MUI dalam urusan keagamaan, termasuk urusan sertifikasi halal,” tandas Maksum.
Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PBNU Andi Najmi Fuaidi, mengatakan pihaknya sudah siap melakukan judicial riview terhadap UU JPH jika ternyata substansinya masih mengabaikan Nahdlatul Ulama.
"Spirit monopoli dalam RUU JPH itu berarti mengabaikan Nahdlatul Ulama. Dan jika formula itu masih dipertahankan hingga disahkannya RUU tersebut, maka PBNU akan membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi," ujar Andi.
Andi menambahkan, PBNU sudah menyampaikan draft RUU versi Nahdlatul Ulama sebagai bentuk tanggung jawab para kiai terhadap Allah SWT dalam urusan bimbingan kepada umat. "Pemerintah dan DPR seharusnya mengakomodasi aspirasi Nahdlatul Ulama," tambahnya. (Yogi Gustaman)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News