Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengapresiasi langkah Polri yang akhirnya berhasil meringkus buronan kelas kakap, terpidana kasus korupsi, Djoko Tjandra.
ICW mendesak agar Djoko Tjandra dapat kooperatif dalam menjalani masa hukuman. Serta memberikan informasi kepada penegak hukum tentang pihak-pihak mana saja yang turut membantunya dalam pelarian selama sebelas tahun terakhir.
Meski begitu, ICW menyebut masih terdapat banyak pekerjaan rumah yang harus juga segera dituntaskan oleh lembaga-lembaga terkait.
Pertama, Polri harus mengembangkan terkait adanya kemungkinan petinggi Korps Bhayangkara lain yang juga terlibat dalam membantu pelarian Djoko Tjandra.
Polri harus segera menetapkan Djoko Tjandra sebagai tersangka atas dugaan menggunakan surat palsu untuk kepentingan tertentu sebagaimana tertuang dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP.
"Adapun poin ini merujuk pada tindakan yang bersangkutan saat menggunakan surat jalan dari Polri agar bisa melarikan diri," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Jumat (31/7).
ICW menyebut, Polri harus segera berkoordinasi dengan KPK untuk mengusut tuntas dugaan tindak pidana suap yang dilakukan oleh Djoko Tjandra atau pun advokatnya terhadap pihak-pihak yang membantu pelariannya selama ini.
Kedua, Kejaksaan Agung harus mengevaluasi kinerja dari Tim Eksekutor pencarian buronan Djoko Tjandra. Sebab, tim tersebut pada kenyataannya gagal meringkus terpidana kasus korupsi tersebut.
ICW mendesak Kejaksaan Agung harus mendalami terkait kepentingan atau motif dari Jaksa Pinangki Sirna Malasari ketika menemui Djoko Tjandra.
Baca Juga: Apa itu cessie yang sering disebut-sebut dalam kasus penangkapan Djoko Tjandra?
Jika ada aliran dana dari Djoko Tjandra terhadap yang bersangkutan, maka sudah selayaknya Kejaksaan berkoordinasi dengan KPK untuk dapat memproses hukum atas sangkaan tindak pidana suap dan obstruction of justice.
"Tak hanya itu, ICW juga mendesak agar Korps Adhyaksa segera memberhentikan yang bersangkutan sebagai Jaksa di Kejaksaan Agung," ucap Kurnia.
Ketiga, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus segera berkoordinasi, baik dengan Kepolisian atau Kejaksaan, untuk dapat menangani dugaan tindak pidana suap yang dilakukan Djoko Tjandra atau pun advokatnya serta dugaan obstruction of justice.
Keempat, ICW mendesak agar DPR segera mengajukan hak angket terhadap lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pelarian dari Djoko Tjandra, yakni Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, dan Badan Intelejen Negara.
Baca Juga: Bareskrim Polri tetapkan pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking tersangka
Tidak hanya itu, ICW mengatakan, Pelarian Djoko Tjandra ini mestinya dapat dijadikan momentum bagi Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja lembaga-lembaga terkait. Yakni Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen Imigrasi), dan Badan Intelejen Negara.
Sebab, jika tidak ada evaluasi mendalam, maka tidak menutup kemungkinan di masa mendatang buronan korupsi lainnya akan melakukan tindakan serupa dengan yang dilakukan Djoko Tjandra;
ICW mengingatkan, bahwa Djoko Tjandra ini hanya satu dari sekian banyak buronan yang masih tersebar di beberapa negara. Catatan ICW, masih tersisa 39 buronan korupsi lagi yang belum dapat ditangkap oleh penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK).
"Tentu ini harus menjadi fokus bagi pemerintah, terlebih lagi jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh para buronan tersebut terbilang fantastis, yakni mencapai Rp 53 triliun," jelas Kurnia.
Seperti diketahui, pada Kamis (30/7), Polri melalui Kabareskrim berhasil meringkus buronan kelas kakap Djoko Tjandra. Djoko yang merupakan buron kasus pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali ini ditangkap di Malaysia.
Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Purnomo mengatakan, proses penangkapan Djoko atas kerjasama dengan Kepolisian Diraja Malaysia.
Baca Juga: Penangkapan Djoko Tjandra dari Malaysia hingga tiba di Indonesia
Sebelumnya, PN Jakarta Selatan sebelumnya memutuskan Djoko bebas dari tuntutan. Kemudian, Oktober 2008 Kejaksaan mengajukan PK ke Mahkamah Agung. MA menerima dan menyatakan Direktur PT Era Giat Prima itu bersalah.
Djoko dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan harus membayar denda Rp 15 juta serta uangnya di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara.
Namun, sehari sebelum putusan MA pada Juni 2009, Djoko diduga kabur meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Port Moresby, Papua Nugini.
Djoko Tjandra kemudian diketahui telah pindah kewarganegaraan ke Papua Nugini pada Juni 2012. Namun, alih status warga negara itu tidak sah karena Djoko masih memiliki permasalahan hukum di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News