Reporter: Noverius Laoli | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Permintaan bubuk kayu (pulp) dan kertas global diramalkan terus bertumbuh. Karena itu, peran industri pulp dan kertas nasional perlu didorong dengan sejumlah kebijakan pro industri. Kejelian pemerintah memanfaatkan momentum tersebut berpotensi menempatkan industri ini sebagai pemain papan atas dunia.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Rusli Tan menjelaskan, permintaan pulp dan kertas dunia terutama berasal dari Asia. Berdasarkan data Poyry permintaan kertas di Asia naik 1,8% per tahun, dan diperkirakan meningkat menjadi 5,7 juta metrik ton (MT) pada 2025.
Pertumbuhan kertas tertinggi di Asia disumbang oleh Tiongkok yang mencapai 6,4% per tahun, dan diprediksi naik menjadi 14,3 juta MT pada 2025. Permintaan kertas sangat kuat di Asia, pertumbuhannya pun lebih tinggi. "Sementara, permintaan kertas di negara maju stagnan dan cenderung turun," kata Rusli, akhir pekan lalu.
Pasar bleached hardwood kraft pulp (BHKP) global diperkirakan tumbuh 2,6% per tahun, dari 26,5 juta MT pada 2010 menjadi 38,9 juta MT pada 2025. Krisis yang terjadi di negara maju ini ternyata turut berpengaruh terhadap permintaan kertas di pasar global.
Menurut Rusli, agar peluang tersebut tidak terlewatkan, perlu ada sejumlah kebijakan strategis guna mendorong industri pulp dan kertas nasional. Salah satunya melalui penyederhanaan izin investasi.
Dia mencontohkan, pemerintah Tiongkok memberikan kemudahan perizinan bagi investasi pulp dan kertas sehingga industri itu berkembang pesat. Persetujuan pulp untuk 100.000 ton per tahun dikeluarkan oleh pemerintah provinsi dan bukan pemerintah pusat.
Saat ini ada 71 proyek pulp dari total 117 proyek, dengan kapasitas 100.000 ton per tahun. Industri pulp dan kertas di Tiongkok mampu memasok 7,1 juta ton per tahun.Impor kertas Tiongkok akan berkurang drastis dalam beberapa tahun mendatang.
APKI menilai, Indonesia memiliki potensi menjadi negara produsen pulp dan kertas terbesar dunia karena memiliki sejumlah keunggulan yang tidak dimiliki negara lain.
Ekspor produk bernilai tambah akan memberikan keuntungan bagi Indonesia. Diantaranya, devisa, nilai tambah dan sebagai penunjang untuk industri kemasan, sarana pendidikan, dan budaya. Letak geografis Indonesia juga mendekati pasar yang potensial. Misalnya, lama pengapalan kertas dari Indonesia ke Tiongkok hanya 7 sampai 10 hari. Sedangkan pengapalan dari Amerika atau Eropa ke Tiongkok bisa mencapai 30 sampai 60 hari.
Rusli mengharapkan, pemerintahan baru harus memiliki perhatian lebih besar terhadap perekonomian. Ia mendorong agar pemerintah mencontoh politik ekonomi Tiongkok. Salah satunya adalah tidak mengekspor bahan baku sehingga ada nilai tambah bagi penciptaan lapangan kerja, devisa, dan menggairahkan ekspor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News