Reporter: Teodosius Domina | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Munculnya rentetan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) dirasa memberi dampak terhadap deregulasi dan debirokratisasi. Hanya saja, penyebarannya tak merata.
Sejauh ini, pemerintah melihat, perubahan akibat penerapan Paket Kebijakan Ekonomi paling terasa di dua wilayah, yaitu DKI Jakarta dan Kota Surabaya.
"Target nasional belum tercapai karena respon kebijakan Pemda atas PKE masih terhambat. Terutama karena harus ada perubahan signifikan pada regulasi dan standar layanan perizinan," kata Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) ketika menyampaikan hasil penelitiannya, Senin (19/12).
Dia menuturkan, ada tujuh kota sasaran investasi yang dimonitor, yaitu DKI Jakarta, Surabaya, Manado, Denpasar, Palembang, Pontianak dan Bandung. Di daerah tersebut, perizinan untuk memulai investasi mesti diproses dalam waktu sekitar 17 hari, padahal targetnya 10 hari kerja.
Sementara terkait izin pendirian bangunan, waktunya pengurusan sudah sesuai target, hanya saja biaya yang dikeluarkan masih relatif mahal yaitu sekitar Rp 89 juta. Sedangkan untuk pendaftaran hak tetap atas tanah, masih jauh dari target, yaitu 37 hari sementara targetnya 5 hari.
Robert mencatat, belum tercapainya target kecepatan, efisiensi biaya dan prosedur disebabkan beberapa hal. Antara lain, kualitas Sumber Daya Manusia Pemda yang belum cukup inovatif. Selain itu, Perka BKPM No.14/2015 tentang tata cara izin prinsip penanaman modal menimbulkan multitafsir. Sementara terbitnya SE Menteri PUPR No.10/2016 tentang justru tidak sesuai dengan target PKE XII. Dua peraturan tersebut justru membuat masalah baru di daerah, imbuh Robert.
Temuan KPPOD juga menyoroti sosialisasi PKE yang tidak efektif. Masing-masing pihak yang berkepentingan masih menunjukkan ego sektoral.
Dia mencontohkan, jika PKE terkait kementerian perdagangan, hanya dinas perdagangan di daerah saja yang diberi sosialisasi. "Padahal kunci pemerintahan daerah itu kepala daerahnya. Sosialisasi kepada kepala dinas akan sia-sia saja karena mereka tunduk pada kepala daerah," tuturnya.
Farah Ratnadewi Indriani, Deputi Pengembangan Iklim Penanaman Modal BKPM menuturkan minat untuk berinvestasi sangat dipengaruhi persepsi terhadap korupsi serta deregulasi kebijakan yang kurang penting. "Tapi sayangnya, meski sudah dideregulasi, ternyata malah muncul kebijakan baru lagi," tuturnya.
Senada dengan Farah, Hariyadi B. Sukamdani, Ketua Asosiai Pengusaha Indonesia (Apindo) bilang dalam membuat kebijakan di daerah, Pemda masih menerapkan standar ganda. Ada yang memang ingin menetapkan standari acuan tertentu, namun ada yang semata-mata ingin menarik retribusi. Bahkan, kebijakan dibuat oleh pejabat di tingkat desa.
"Misalnya, ada peraturan desa tentang real estate di Depok, ada penarikan biaya per meter persegi. Itu biayanya sama tidak memandang apakah perumahan sederhana, menengah atau mewah. Bahkan kolam pancing juga dihitung," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News