kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.056   72,62   1,04%
  • KOMPAS100 1.055   15,00   1,44%
  • LQ45 829   12,33   1,51%
  • ISSI 214   1,30   0,61%
  • IDX30 423   7,18   1,73%
  • IDXHIDIV20 510   7,60   1,51%
  • IDX80 120   1,78   1,50%
  • IDXV30 125   0,87   0,70%
  • IDXQ30 141   2,08   1,49%

Paket ekonomi gagal, pertumbuhan tak bisa lebih 6%


Kamis, 06 Oktober 2016 / 18:08 WIB
Paket ekonomi gagal, pertumbuhan tak bisa lebih 6%


Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Indonesia memiliki waktu 10 tahun dari sekarang untuk berbenah diri dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Salah satu pembenahan yang bisa dilakukan, yakni melalui optimalisasi reformasi struktural saat Indonesia mendapatkan bonus demografi.

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung mengatakan, usia produktif penduduk Indonesia mengalami masa keemasan sejak tahun 2010. Namun, peluang emas tersebut berakhir pada tahun 2030. "10 tahun lagi bonus demografi ini sudah berkurang. Jadi ini peluang yang harus dimanfaatkan," kata Juda, Kamis (6/10).

Ia menyayangkan hingga saat ini Indonesia belum memanfaatkan bonus demografi tersebut secara optimal. Hal tersebut tampak dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang belum membaik signifikan. Rasio ketergantungan juga mulai meningkat yang menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi.

Padahal, kata Juda, China bisa mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat hingga mencapai double digit dari adanya bonus demografi. Begitu juga dengan Korea, yang bisa keluar dari kategori negara berpendapatan menengah (middle income trap) karena melakukan reformasi struktural saat adanya bonus demografi.

Lebih lanjut, ia mengatakan, saat ini Indonesia memang tengah melakukan reformasi struktural melalui paket-paket kebijakan yang telah diterbitkan pemerintah. Namun, reformasi struktural yang dilakukan Indonesia belum seintensif sebagaimana reformasi struktural yang dilakukan oleh Korea.

Pada 1998 silam, Korea memangkas 50% regulasi hanya dalam waktu setahun dan dengan melakukan pendekatan dari atas ke bawah (top down). Tak hanya itu, pemerintah Korea saat itu membentuk Reform Committee yang berada di bawah presiden langsung yang terdiri dari unsur pemerintah dan sipil serta kementerian yang harus membuktikan langung urgensi deregulasi yang dikeluarkan.

"(Hasilnya) Regulatory Quallity Index (RQI) di Korea itu sangat tinggi dan meningkat," imbuh Juda. Ia mencatat, rata-rata RQI dunia berada di level 0 dan Korea berhasil menembus level 1. Sementara RQI Indonesia, berada di bawah rata-rata indeks dunia.

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan BI, masalah utama di seluruh wilayah Indonesia yaitu seputar infrastruktur listrik, sumberdaya manusia (SDM), dan konektivitas seperti jalan, pelabuhan, dan bandara.

Padahal, pembangunan infrastruktur listrik dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,26% per tahun, pengembangan SDM meningkatkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,5% per tahun, dan peningkatan efisiensi konektivitas dapat mendorong pertumbuhan ekonomi 0,27% per tahun.

"Maka, reformasi struktural di Indonesia tidak bisa ditawar lagi karena nanti kita bisa terjebak dalam middle income trap," kata Juda.

Lebih lanjut, menurutnya, jika reformasi struktural berhasil dilakukan, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat tumbuh di atas 6% pada tahun 2020 mendatang, yang dibarengi dengan inflasi yang rendah serta defisit transaksi berjalan (current account deficit atau CAD) tetap sehat.

Namun jika sebaliknya, maka pertumbuhan ekonomi akan terperangkap di level 5%, inflasi tinggi, dan penurunan CAD.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×