kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pajak membebani minat belanja dan investasi


Senin, 25 September 2017 / 10:20 WIB
Pajak membebani minat belanja dan investasi


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - Langkah pemerintah mati-matian mengejar penerimaan pajak berpeluang memberi efek negatif bagi perekonomian Indonesia. Walau di satu sisi ada potensi penerimaan pajak yang lebih besar, di sisi lain langkah pengetatan pajak akan membuat minat masyarakat berbelanja makin hilang.

Kekhawatiran salah satunya dipicu oleh penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36/2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan. Senjata baru kantor pajak menggenjot setoran tahun ini, selain akan menghilangkan minat berbelanja juga dikhawatirkan akan menekan usaha pemerintah mendongkrak investasi.

Ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan, aturan ini akan menganggu ekonomi karena membuat masyarakat menahan belanja. Sebab semakin banyak belanja harta, pelaporan SPT harus lebih tertib. Kalangan korporasi pun bakal lebih memilih menahan ekspansi. "Orang akan berpikir lebih baik tahan belanja. Cuma melaporkan saldo rekening saja," katanya kepada KONTAN, Sabtu (23/9)

Efek negatif lainnya adalah semakin besar tax avoidance. Menurut Bhima, sejauh ini besaran underground economy diprediksi mencapai 8,33% dari total PDB. Sementara pendapatan pajak yang hilang setara 1% dari total PDB Indonesia di tahun 2013.

Jika kantor pajak semakin agresif, transaksi di bawah tangan atau yang tidak dilaporkan ke pajak bisa semakin semarak. "Membeli rumah misalnya tanpa ke notaris. Asal saling percaya transaksi bisa berlanjut," terang Bhima.

Oleh karena itu, menurut Bhima, pemerintah lebih baik memutar otak untuk mendorong penerimaan pajak dengan mengaudit laporan keuangan perusahaan asing yang diduga memanipulasi laporan keuangan, sehingga pemasukan PPh badan ke negara lebih besar. Ditjen Pajak juga sebaiknya memacu ekstensifikasi atau perluasan objek kena cukai seperti kantong plastik dan minuman berpemanis.

Ketua Bidang Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Prijo Handojo pun khawatir aturan baru ini akan kontraproduktif bagi ekonomi. Sebab, potensi dispute di level petugas lapangan sangat besar. Alhasil, "Jika beban pajak naik, orang lebih suka melobi petugas di lapangan," tandasnya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, PP 36/2017 rawan dispute sehingga harus diatur lebih lanjut. "Sebaiknya ada pedoman agar perlakuan di lapangan seragam," kata Yustinus, Jumat (22/9).

Menurut Yustinus, apabila nantinya ada dispute soal nilai, wajib pajak tidak perlu khawatir karena akan ada forumnya, yaitu mengajukan keberatan atau banding setelah ada pemeriksaan pajak atau mengajukan nilai berdasarkan hitungan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).

Ada aturan teknis

Walau dinilai banyak sisi negatif, Ditjen Pajak tetap bergeming. Ditjen Pajak menegaskan PP 36/2017 demi keadilan bagi wajib pajak yang jujur dan mengikuti tax amnesty. Untuk mencegah pertentangan, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal ( Ditjen) Pajak Hestu Yoga Saksama menyatakan, Dirjen Pajak akan merilis Surat Edaran (SE) sebagai pedoman bagi petugas pajak/pemeriksa.

Hal ini terkait dengan pasal 5 ayat (2) dalam PP tersebut, yakni penilaian oleh DJP sesuai dengan kondisi dan keadaan harta selain kas dan setara kas. "Misalnya menilai emas, saham, asuransi, properti, kendaraan bermotor, dan lain-lain, dasar penilaiannya seperti apa. Dasar penilaian akan dibuat secara fair dan profesional, sehingga dapat menghilangkan kekhawatiran dispute," kata Hestu ke KONTAN, Minggu (24/9).

Dalam penerapan PP 36 tahun 2017, Hestu menegaskan, nilai yang akan dipakai bukan nilai perolehan, melainkan nilai pada akhir tahun terakhir. Artinya, posisi aset per 31 Desember 2015 yang konsisten dengan UU amnesti pajak, sehingga bukan posisi atau kondisi asset saat ini. "Dasarnya adalah nilai jual objek pajak (NJOP) untuk tanah dan bangunan dan nilai jual kena pajak (NJKP) untuk kendaraan," terangnya.

Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Ditjen Pajak Yon Arsal menilai, terkait tata cara PP ini, pihaknya akan mengatur lewat Perdirjen. Aturan teknis itu diperkirakan keluar pekan ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×