kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pajak ekonomi digital masih perlu perencanaan yang matang


Rabu, 04 September 2019 / 21:23 WIB
Pajak ekonomi digital masih perlu perencanaan yang matang
ILUSTRASI. Suahasil Nazara, Kepala BKF Kemkeu


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah menetapkan pajak ekonomi digital sebagai salah satu aspek penerimaan pajak di tahun depan.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara menilai mekanisme pemungutan pajak ekonomi digital perlu dilakukan secara matang. Sebab, perusahaan digital tidak hanya di Indonesia tapi banyak yang berlokasi di luar negeri.

Meski demikian, lambat laun perusahaan digital internasional tercatat sebagai perusahaan dalam negeri. Misalnya, PT Google Indonesia sudah menjadi Badan Usaha Tetap (BUT) di antara perusahaan internasional yang tergolong Over The Top (OTT).

Makanya, Google akan menerapkan Pajak Penambahan Nilai (PPN) sebesar 10% atas layanan Google Ads. Suahasil menilai secara makro ini adalah konsekuensi Google sebagai BUT dalam menegangakkan administrasi pajak.

Baca Juga: Sri Mulyani: Filosofinya untuk membuat ekonomi Indonesia kompetitif

Sementara itu, potensi pajak digital masih sangat besar. Suahasil mengaku banyak perusahaan asal luar negeri yang mematik untuk atas transaksi di Indonesia, sebut saja Spotify dan Netflix.

Kedua perusahaan itu, menetapkan biaya berlangganan kepada penggunanya di berbagai negara, termasuk Indonesia.

“Menghasilkan pendapatan dan profit dari Indonesia tapi  bukan perusahaan Indonesia. Makanya harus dibuat sebagai BUT. Spotify dan Netflix tidak ada PPN maka ya tergeruslah potensi PPN,” kata Suahasil seusai rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR Ri, Rabu (4/9).

Menurut Suahasil, masalah ekonomi digital adalah isu internasional. Tidak hanya Indonesia yang kehilangan potensi penerimaan pajak. Untuk itu setiap negara diupayakan merumuskan penerapan pajak atas perusahaan digital.

Suahasil bilang, semua negara tidak diam saja. Organisation for Economic Coorperation and Development (OECD) tengah membahas skema pemungutan pajak ekonomi digital.

Baca Juga: Inilah poin-poin penting di RUU perpajakan yang baru

Di sisi lain, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan akan menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Perpajakan. Salah satu poinnya adalah soal pajak ekonomi digital dalam rangka antisipasi dari sisi munculnya perusahaan digital internasional seperti Amazon dan Google.

“Selama ini perusahaan itu tidak bisa dikukuhkan sebagai subjek pajak LN yang bisa melakukan pemungutan pajak yang kemudian disetor ke kita,” ujar Sri Mulyani.

Dengan RUU ini, Kementerian Keuangan (Kemkeu) menetapkan bahwa perusahaan digital internasional harus tertib administrasi pajak dengan memungut, menyetor, dan melaporkan PPN.

“Supaya tidak ada penghindaran pajak, karena mereka tahu berapa jumlah volume kegiatan ekonominya dengan tarif yang sama dengan perusahaan umum lainnya,” kata Sri Mulyani.

Baca Juga: RUU baru perpajakan akan antisipasi perkembangan ekonomi digital

Lebih lanjut, Sri Mulyani menjelaskan dalam RUU ini, maka definisi BUT tak lagi didasarkan pada kehadiran fisik. Walau mereka tak punya kantor cabang di Indonesia tapi kewajiban pajak tetap ada.

“Karena mereka ada significant economic presents. Tentu saja tujuannya, supaya ada level playing field terhadap kegiatan digital terutama perusahaan besar yang selama ini beroperasi across border. Tarifnya akan ditetapkan dalam PPh dan PPN dalam RUU ini,” kata Menkeu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×