Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Per 31 Desember 2016, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan realisasi komitmen repatriasi telah mencapai Rp 112,2 triliun, yang diklaim 21 bank gateway. Padahal, pemerintah mencatat, komitmen repatriasi Wajib Pajak yang ikut Tax Amnesty mencapai Rp 141 triliun.
Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan, akan mencari tahu dulu alasan dana dari luar negeri tersebut belum kunjung kembali ke Tanah Air.
“Kami lihat dulu apakah tingkat kesulitannya; ada di pihak negara di mana duitnya berada, ataukah Wajib Pajaknya yang memang ingin menggagalkan (komitmen repatriasi) atau tidak mau ikut repatriasi,” katanya di Gedung Mar’ie Muhammad DJP Pusat, Jakarta, Senin (13/2).
Menurut Ken, bila penyebabnya adalah kemungkinan WP tidak merealisasikan repatriasi lantaran sengaja ingin menggagalkan komitmen repatriasinya, maka DJP akan mengenakan Pasal 13 UU Pengampunan Pajak. Dalam peraturan tersebut, Menteri Keuangan sebelumnya akan menerbitkan Surat Peringatan kepada wajib pajak yang lalai merepatriasi asetnya.
Kemudian, WP tersebut harus menyampaikan tanggapan atas surat peringatan tersebut dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal kirim surat peringatan.
Jika dalam tanggapannya diketahui bahwa wajib pajak lalai, maka harta tersebut akan diperlakukan sebagai penghasilan Tahun Pajak 2016. Konsekuensinya, wajib pajak harus membayar pajak penghasilan (PPh) atas harta yang batal direpatriasi dengan tarif normal.
Adapun WP tersebut juga harus membayar sanksi denda sebesar 200% dari PPh yang dibayar tersebut. Uang tebusan yang telah dibayar oleh WP akan diperhitungkan sebagai pengurang pajak.
“Kalau tidak mau repatriasi, ya kami anggap penghasilan. Pasal 13 UU amnesti pajak. Itu saja. Simpel. Jadi, jangan takut (tidak terealisasikan),” ucap Ken.
Direktur P2 Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan, pihaknya masih cek terus komitmen repatriasi tersebut dengan realisasinya. Dia mencatat, 3.400 WP yang menyampaikan SPH akan melakukan repatriasi.
Pada penyampaian SPT Tahunan 2016, Yoga mengatakan bahwa WP harus melampirkan laporan realisasi repatriasinya.
“Itu nanti yang akan kami cocokkan dengan SPH-nya untuk mengidentifikasikan mana WP yang sudah dan yang belum merealisasikan repatriasinya,” kata Yoga kepada KONTAN, Senin (13/2).
Pengamat Perpajakan sekaligus Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan bahwa sesungguhnya masih ada Rp 700 triliun harta likuid orang Indonesia di luar negeri.
Namun, orang-orang Indonesia yang memiliki harta di luar negeri kurang tertarik membawa kembali dananya ke Indonesia lantaran kurangnya daya tarif dari insentif yang dimiliki, seperti kebijakan perbankan.
“Jadi belum ada packaging kebijakan yang betul-betul bisa memperlakukan investor untuk bawa uang ke sini," katanya.
Ia mengatakan, langkah yang perlu dilakukan adalah pengecekan siapa saja yang komitmen repatriasi dan belum melakukannya. Yustinus melanjutkan, menurut UU yang ada, WP juga harus harus ditegur dulu baru bisa dilakukan law enforcement.
“Kalau di UU, harus ada peringatan tertulis dan dalam waktu 14 hari harus direspon. Artinya, tanpa surat peringatan akan jadi celah bagi WP untuk menahan repatriasi,” ujarnya.
Adapun menurut dia, bisa jadi memang ada kesulitan merepatriasi yang disebabkan oleh negara asal dari uangnya, ingin membatalkan, atau memanfaatkan celah hukum.
“Saya kira kalau tidak ada masalah, negara-negara tidak ada yang menahan lagi kecuali yang bersangkutan suspect kejahatan keuangan,” ucapnya.
Sementara soal surat peringatan, Hestu mengatakan bahwa sesuai ketentuan, nanti setelah SPT 2016, KPP akan mengirimkan surat peringatan, yang sifatnya mengklarifikasi data saja bahwa WP belum atau tidak merealisasikan repatriasinya.
Berbeda dengan data DJP, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa realisasi komitmen dana repatriasi program amnesti pajak (tax amnesty) di bank gateway mencapai Rp 105 triliun per 27 Januari 2017 dengan total komitmen dana repatriasi dari tax amnesty Rp 143 triliun. Itu artinya, Rp 38 triliun dari komitmen belum kembali ke Tanah Air.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad mengatakan, 71% stau Rp 74,8 triliun dari dana tersebut masih mengendap di perbankan dalam bentuk simpanan deposito. Sementara, sisanya telah mengucur ke berbagai instrumen investasi, baik keuangan maupun non keuangan.
Rinciannya, dana yang lain mengalir ke sektor non-keuangan adalah 9% atau Rp 9,45 triliun, ke asuransi 1% atau Rp 1,05 triliun, ke pasar modal 6% atau Rp 6,3 triliun, ke manajer investasi 2% atau Rp 2,1 triliun, dan ke sektor lainnya 11% atau Rp 11,5 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News