Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia Development (lNFlD) menilai, pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi untuk masyarakat superkaya menjadi salah satu upaya mengatasi ketimpangan di dalam negeri. Dalam laporannya yang berjudul “Menuju Indonesia yang Lebih Setara”, Oxfam dan INFID encatat peringkat ketimpangan Indonesia berada di posisi terburuk keenam di dunia.
Oxfam dan INFID menilai, sistem perpajakan di Indonesia saat ini belum mampu mendistribusikan kekayaan dan memastikan bahwa setiap orang membayar sesuai kemampuannya. Oleh karena itu, pihaknya mengusulkan agar pengenaan pajak penghasilan (PPh) terhadap orang-orang super kaya di Indonesia.
Caranya, melalui pengenaan tarif pajak 45% untuk orang-oramg berpenghasilan lebih dari Rp 10 miliar per tahun. Golongan ini mencakup kalangan eksekutif, manajemen puncak, pemilik dan pemegang saham dari beberapa perusahaan terbesar di Indonesia.
"Terdapat 200.000 orang dengan penghasilan di atas Rp 10 miliar di Indonesia," Dini Widiastuti juru bicara Oxfam, Kamis (23/2). Lebih lanjut menurutnya, tarif teratas 45% dari PPh tersebut diterapkan di negara-negara G20 yang lain, seperti Inggris, sementara negara maju seperti Belgia sebesar 50% dan Denmark 51,5%.
Tak berhenti sampai di situ, dalam jangka panjang pemerintah juga dinilai harus melakukan peninjauan sistem PPh pribadi untuk mengenakan pajak tambahan bagi kalangan puncak tersebut dengan tarif yang lebih tinggi. Misalnya, kisaran Rp 500 juta-Rp 5 miliar per tahun dikenakan tarif pajak 45% dan 65% untuk berpenghasilan lebih dari Rp 10 miliar per tahun.
Selain itu, Oxfam dan INFID juga disarankan menerapkan tarif pajak tinggi untuk harta kekayaan dan pajak harta warisan. Beberapa negara maju, seperti Jepang dan Korea Selatan telah menerapkan tarif pajak harta warisan dengan besaran masing-masing 55% dan 50%.
Pihaknya juga menyarankan kepada pemerintah untuk membatalkan rencana pemangkasan tarif PPh badan dan meninjau ulamh insentif pajak. Sebab, pemangkasan pajak tersebut dinilai tidak serta-merta meningkatkan kepaturan pajak dan menarik investor asing untuk masuk ke dalam negeri.
Faktor penentu yang menarik investor asing untuk berinvestasi di dalam negeri justru berupa tingkat keterampilan di dalam negeri, ketersediaan infrastruktur, dan stabilitas makroekonomi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News